Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menanti Dibukanya Keran Ambang Batas Pencalonan Presiden..

Kompas.com - 13/07/2018, 08:01 WIB
Reza Jurnaliston,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

Kompas TV Ketentuan ambang batas pencalonan presiden kembali digugat.

"Kalaupun MK menolak ataupun mengabulkan masih ada beberapa kemungkinan variasi, tapi selebihnya kita serahkan pada MK,” Jimly menambahkan.


Argumen Baru

Jimly menganjurkan kepada pemohon uji materi untuk menggunakan landasan konstitusional yang baru.

Menurut dia, apabila pemohon tidak menggunakan argumentasi hukum baru maka kemungkinan akan ditolak oleh hakim MK sangat besar.

Baca juga: Gugatan Presidential Threshold Pernah Ditolak MK, Pemohon Ajukan Argumen Baru

Sebab, pasal 222 dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur mengenai presidential threshold sebelumnya juga sudah pernah diuji materi, namun ditolak oleh MK.

“Jangan menggunakan argumen yang lama, kan argumen lama sudah jelas ditolak, nah argumen barunya soal keserentakan (Pemilu 2019). Soal data-data yang saya sampaikan nyatanya nggak mungkin 3 (paslon). Sekarang koalisi itu hanya bisa 2 berarti ada hambatan,” kata dia.

Baca juga: Ramai-ramai Menolak Presidential Threshold...

“Apalagi, misal ada partai abstain, dia tidak kanan dan kiri sedangkan angka dia tidak cukup 20 persen nah itu kan berarti hak dia terhambat. Nah yang begitu bisa diajukan ke MK dia punya legal standing terbukti dia dirugikan oleh aturan 20 persen,” Jimly menambahkan.

 

Argumen penggugat

Hadar Nafis Gumay, satu dari 12 penggugat UU Pemilu, menilai ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) itu membatasi hak untuk mendapatkan calon presiden alternatif sebanyak-banyaknya.

Selain itu, menurut dia, ketentuan ambang batas itu masih menggunakan hasil Pemilu 2014.

“Sangat mungkin itu untuk melindungi apa yang sudah dilakukan selama ini, karena memang pengaturan presidential threshold itu menggambarkan kekuatan yang sebelumnya sebagai dasar untuk bisa mencalonkan kekuatan baru yang mungkin dipilih oleh masyarakat itu menjadi sempit ruangnya,” ujar mantan Komisioner KPU.

Baca juga: 12 Penggugat Presidential Threshold Klaim Bukan Partisan Politik

Sementara itu, perorangan warga Indonesia bernama Muhammad Dandy, beralasan pemberlakuan Pasal 222 Undang Undang Nomor 72 Tahun 2017 telah nyata-nyata merugikan hak konstitusionalnya sebagai pemilih pemula atau pemilih milenial.

Dirinya tidak pernah memberikan mandat atau suara kepada partai-partai pada pemilihan umum tahun 2014 untuk mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

Pemohon berpendapat sebagai pemilih, tentu berhak mendapatkan alternatif sebanyak-banyaknya calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden maksimal, sebanyak jumlah partai politik yang telah diverifikasi oleh KPU dan dinyatakan dapat mengikuti pemilihan umum.

Baca juga: Gerindra Tak Persoalkan Ada atau Tidak Presidential Threshold

"Banyaknya calon presiden dan wakil presiden berbanding lurus dengan upaya demokrasi yang mencari pemimpin yang terbaik dari yang baik, sehingga semakin banyak pilihan akan membuat rakyat Indonesia termasuk pemohon mendapatkan manfaat dalam menentukan pilihan," ujar kuasa hukum pemohon, Unoto Dwi Yulianto di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (12/7/2018), dikutip dari ANTARA.

Pemohon dalam dalilnya menjelaskan, pihaknya baru pertama kali memilih untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019.

Baca juga: Presidential Threshold 20 Persen Dinilai Batasi Munculnya Capres Alternatif

Sehingga, bila ketentuan a quo berlaku maka berpotensi menghilangkan hak konstitusional pemilih pemula untuk mendapatkan banyaknya alternatif calon pemimpin.

"Mekanisme berdasarkan hasil pemilu sebelumnya jelas merugikan dan mengebiri hak-hak konstitusional pemilih pemula termasuk pemohon karena pemohon tidak pernah memberikan mandat atau suaranya kepada partai politik mana pun pada pemilihan umum tahun 2014," kata Unoto.

Apakah MK akan mengabulkan gugatan dengan argumentasi ini? Kita nantikan..

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak Pada Etika Kenegaraan

Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak Pada Etika Kenegaraan

Nasional
Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Nasional
Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Nasional
Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Nasional
MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

MK Bantah Ada Bocoran Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Marinir Indonesia-AS Akan Kembali Gelar Latma Platoon Exchange Usai 5 Tahun Vakum

Nasional
Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Ingin Pileg 2029 Tertutup, Kaesang: Supaya “Amplop”-nya Enggak Kencang

Nasional
PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

PSI Akan Usung Kader Jadi Cawagub Jakarta dan Wali Kota Solo

Nasional
Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Soal Sengketa Pilpres, Pengamat Nilai MK Tak Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran

Nasional
Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Profil Marsda Arif Widianto, Pati AU yang Kini Jabat Dansesko TNI

Nasional
Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Sudirman Said Sebut Pertemuan JK dan Megawati Kemungkinan Terjadi Setelah Putusan MK

Nasional
Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Kaesang Ingin Pileg 2029 Proporsional Tertutup: Pilih Partai, Bukan Caleg

Nasional
KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

KSAU Temui KSAL, Bahas Peningkatan Interoperabilitas dan Penyamaan Prosedur Komunikasi KRI-Pesud

Nasional
Pengamat Heran 'Amicus Curiae' Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Pengamat Heran "Amicus Curiae" Megawati Dianggap Konflik Kepentingan, Singgung Kasus Anwar Usman

Nasional
Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Sudirman Said Berharap Anies dan Prabowo Bisa Bertemu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com