JAKARTA, KOMPAS.com - Dosen dari President University, Muhammad AS Hikam, mendukung langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang melarang mantan terpidana kasus korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba mendaftar sebagai calon anggota legislatif. Aturan ini tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.
“Sangat setuju. Saya melihat secara etis sangat logis KPU didukung KPK melakukan itu. Paling tidak publik semakin di bantu memilh dan memilih caleg,” ujar Hikam saat ditemui di kantor PARA Syndicate, Jakarta, Jumat (6/7/2018).
Hikam mengatakan, keputusan KPU tersebut tentu mempunyai aargumentasi tersendiri mengenai larangan keikutsertaan mantan narapidana korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba di pemilu 2019.
Menurut dia, jika timbul pro dan kontra mengenai penerapan aturan itu merupakan suatu hal yang biasa.
Hikam mengatakan, jika ada pihak-pihak yang merasa tidak puas dan merasa keberatan akan aturan tersebut bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).
“Bagaimana anda mau menempatkan wakil rakyat mantan koruptor. Itu kan anomali dan kontradiksi secara etik. Kalau secara aturan main mengingat memang masih ada yang bisa membantah. Membawa ke MA (Mahkamah Agung) ya silakan,” kata dia.
Di sisi lain, Hikam dia menilai, masyarakat Indonesia telah matang dan dewasa dalam memilih calon pemimpin atau legislatif tanpa melihat latar belakang dari yang bersangkutan.
“Publik lebih suka memilih orang daripada partai. Kalau itu dijelaskan oh orang ini orangnya bersih, oh orang ini setengah bersih, oh orang ini pernah kena kasus korupsi. Punya menjadi pilihan lebih banyak itu demokrasi menjadi lebih baik,” kata dia.
Sementara itu, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris menambahkan, apabila tidak sepakat terhadap peraturan KPU (PKPU) maka dapat mengajukan gugatan ke MA.
Dia menegaskan, pengaturan mantan narapidana korupsi dilarang mendaftarkan diri sebagai caleg dibutuhkan, karena publik berhak mendapatkan wakil rakyat yang bersih yang tidak pernah terjerat kasus hukum.
“Walaupun ada PKPU itu, tetapi mantan koruptor masih bisa nyaleg. Apabila ada yang ingin menggugat ya silakan menggugat ke Mahkamah Agung. Kalau Mahkamah Agung memenuhi gugatan itu tentu PKPU itu tidak bisa berlaku,” ujar Syamsuddin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.