JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo telah menyepakati agar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak buru-buru disahkan mengingat masih adanya beberapa pasal yang menjadi polemik.
"Presiden juga akan menerima Tim RUU KUHP juga mendengar penjelasannya. Jadi sekarang yang disepakati supaya jangan dulu buru-buru sampai tanggal 17 Agustus," ujar Yasonna saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (5/7/2018).
Yasonna mengatakan, Presiden Jokowi menginginkan agar RKUHP dibahas secara lebih mendalam dan melibatkan berbagai pihak.
Baca juga: Mahfud MD Sebut Tak Semua Ketentuan Pidana Diatur KUHP
Selain itu, pemerintah juga sepakat untuk tidak memberikan tenggat waktu pengesahan RKUHP.
Dengan begitu RKUHP tak akan menjadi polemik yang berkepanjangan.
"Yang disepakati itu adalah kita duduk, lihat lagi supaya semuanya berjalan dengan baik. Jangan tentukan tenggat waktu," kata Yasonna.
"Supaya enak semua nanti kita duduk lagi bersama, bahas lagi, lihat lagi supaya semuanya smooth," ucapnya.
Sebelumnya, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Sosial (PSHK) Miko Ginting berharap pemerintah dan DPR membahas kembali persoalan yang ada pada RKUHP dengan melibatkan lebih banyak stakeholder.
Baca juga: PSHK: Persoalan RKUHP Tak Sebatas Delik Korupsi
Pemerintah dan DPR tidak boleh hanya memfokuskan persoalan pada dimasukan atau tidaknya delik korupsi pada RKUHP.
Menurut Miko, persoalan pada RKUHP bukan hanya dimuat atau tidaknya delik korupsi. Melainkan, ada persoalan lain yang harus diselesaikan antara DPR dan pemerintah.
"Pemerintah dan DPR tidak boleh berhenti pada persoalan delik korupsi saja, karena RKUHP ini mengandung dan berdampak pada banyak sekali materi. Bahkan, seharusnya pemerintah dan DPR perlu menguji implikasi RKUHP," ujar Miko.