Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Larangan Mantan Napi Kasus Korupsi dan Kamuflase Hak Asasi Manusia...

Kompas.com - 06/07/2018, 10:11 WIB
Kristian Erdianto,
Bayu Galih

Tim Redaksi

HAM jadi kamuflase

Pro dan kontra muncul sejak KPU mewacanakan pelarangan mantan napi kasus korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Pemerintah dan DPR pun berbeda sikap terkait pelarangan itu. KPU dinilai telah melanggar prinsip-prinsip HAM warga negara untuk berpolitik.

Selain itu, pelarangan mantan napi kasus korupsi disebut melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).

Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU Pemilu menyebut, bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota tidak pernah dipidana dengan penjara 5 tahun atau lebih, kecuali secara terbuka mengaku ke publik sebagai mantan napi.

Kendati demikian, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengkritik kesepakatan yang dihasilkan dalam rapat konsultasi tersebut.

Ia menilai argumentasi HAM hanya alasan untuk memberikan peluang bagi mantan napi koruptor untuk dicalonkan sebagai caleg.

"Pembelaan DPR terhadap keinginan untuk memberikan peluang bagi mantan napi koruptor untuk dicalonkan sebagai caleg dengan memakai argumentasi HAM cenderung hanya kamuflase saja," kata Lucius saat dihubungi, Kamis (5/7/2018)

"Betul bahwa semua orang punya hak untuk dipilih dan memilih. Akan tetapi begitu bicara soal hidup bersama dalam wadah negara, maka hak-hak individu harus diatur melalui peraturan agar kehidupan bersama bisa berjalan," ujarnya.

Baca juga: ICW Kritik Kesepakatan DPR, Pemerintah, dan KPU soal Eks Koruptor Bisa Daftar Caleg

Menurut Lucius, DPR dan pemerintah seharusnya menyadari bahwa masyarakat juga memiliki hak atas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.

Di sisi lain, pemilihan umum merupakan salah satu instrumen negara untuk menjamin pelaksanaan hak warga negara tetap tertuju pada terciptanya keadilan sosial.

Oleh karena itu, kata Lucius, larangan mantan napi koruptor menjadi caleg tidak menghilangkan hak seseorang, melainkan menjaga agar hak orang lain tidak diabaikan begitu saja.

"Jadi saya kira DPR hanya tak mau jujur saja ketika menggunakan argumentasi HAM justru untuk membela satu orang saja (mantan napi), tetapi mereka lupa bahwa banyak orang lain juga punya hak, tak mau dipimpin oleh seseorang yang sudah pernah melakukan kejahatan," tutur Lucius.

Apalagi, Komnas HAM sendiri pernah menyatakan bahwa PKPU tersebut tidak melanggar HAM apa pun.

Baca: Komnas HAM Sebut Tak Ada Pelanggaran HAM dalam Larangan Eks Koruptor Jadi Caleg

Hal senada diungkapkan oleh Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak. Ia mengatakan, pelarangan mantan napi kasus korupsi menjadi caleg merupakan upaya positif untuk melindungi hak publik.

Selain itu, PKPU tersebut juga mencegah seorang mantan napi koruptor untuk mengulangi perbuatan yang serupa saat memegang kekuasaan atau jabatan.

"Jadi, bagi saya upaya yang dilakukan oleh KPU melalui PKPU tersebut adalah upaya melindungi hak publik," kata Dahnil.

"Dan bagi saya di atas konstitusi ada etika, akhlak yang menjiwai konstitusi, ada yang tidak mampu di-cover konstitusi sehingga membutuhkan standar etik yang tinggi. Upaya KPU menurut saya adalah upaya meninggikan etika tersebut," ucapnya.

Kompas TV KPU menegaskan peraturan KPU yang melarang mantan napi koruptor menjadi caleg sudah sah berlaku meski belum diundangkan oleh Kemenkumham.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Jokowi Ungkap Kematian akibat Stroke, Jantung dan Kanker di RI Capai Ratusan Ribu Kasus Per Tahun

Nasional
Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Temui Jokowi, Prabowo dan Gibran Tinggalkan Istana Setelah 2 Jam

Nasional
AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

AJI Nilai Sejumlah Pasal dalam Draf Revisi UU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers

Nasional
Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Ketua KPK Sebut Langkah Nurul Ghufron Laporkan Anggota Dewas Sikap Pribadi

Nasional
Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Daftar Hari Besar Nasional dan Internasional Mei 2024

Nasional
AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

AHY Wanti-wanti Pembentukan Koalisi Jangan Hanya Besar Namun Keropos

Nasional
Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com