JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte menilai munculnya kemenangan kotak kosong dalam hitung cepat seperti pada Pilkada Makassar, Sulawesi Selatan, merupakan sebuah peringatan masyarakat pemilih kepada para calon dan partai politik.
Pilkada tersebut diikuti calon tunggal, yakni pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi (Appi-Cicu).
"Itu statement dari masyarakat bahwa 'Saya memilih kotak kosong bahwa calon ini saya enggak mau. Karena saya enggak tahu calon lainnya mana'. Dan ini juga menjadi warning bagi partai-partai," kata Philips di kantor Saiful Mujani Research and Consulting, Jakarta, Selasa (3/7/2018).
Philips sendiri melihat kemenangan kotak kosong juga merupakan ekspresi kedewasaan politik pemilih dalam menentukan pilihannya secara cerdas dan bijak.
Melalui kotak kosong, publik menegaskan agar partai mengusung calon-calon pemimpin yang berintegritas, memiliki program kerja yang jelas serta rekam jejak yang kuat.
Baca juga: KPU:Tak Masalah Siapa yang Menang, Baik Kandidat atau Kotak Kosong
Masyarakat, kata Philips, sudah menurunkan sikap permisifnya atas kandidat-kandidat yang dirasa tidak berkualitas dan tidak layak untuk memimpin daerahnya.
"Menurut saya partainya yang harus disiplin. Yang dicalonkan harus konsisten orang yang punya track record dan transparansi yang tinggi," kata dia.
"Tapi saya kira itu menunjukkan iktikad baik untuk mencari figur yang baik dibandingkan dengan sebelumnya. Karena pemilih biasanya disodorkan calon yang pemilih enggak punya opsi lain," kata dia.
Selain di Makassar, ada 15 daerah lain yang hanya memiliki satu pasangan calon. Mereka didukung antara 6 sampai 12 parpol.
Rinciannya seperti pilkada bupati di Deli Serdang, Padang Lawas, Pasuruan, Lebak, Tangerang, Tapin, Minahasa Tenggara, Bone, Enrekang, Mamasa, Mamberamo Tengah, Puncak, Jayawijaya.
Selain itu, ada juga pilkada wali kota di Prabumulih, Tangerang, dan Kota Makassar.
Dalam Pasal 54D UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada diatur, pemenang pilkada dengan calon tunggal harus memperoleh suara lebih dari 50 persen suara sah.
Jika suara tidak mencapai lebih dari 50 persen, maka pasangan calon yang kalah boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya.
Baca juga: Tiga daerah di Banten Lawan Kotak Kosong, Gubernur Halim Singgung Mahar Politik
Dalam Pasal 25 ayat 1 PKPU Nomor 13 Tahun 2018 diatur, apabila perolehan suara pada kolom kosong lebih banyak dari perolehan suara pada kolom foto Pasangan Calon, KPU menetapkan penyelenggaraan Pemilihan kembali pada Pemilihan serentak periode berikutnya.
Sementara di ayat 2 disebutkan "Pemilihan serentak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sebagaimana jadwal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Komisioner KPU Viryan Aziz menjelaskan, maksud periode berikutnya bukan lima tahun mendatang, tapi ketika pilkada serentak terdekat akan digelar.
"Dalam UU 10 tahun 2016 disebutkan Pilkada Serentak berikutnya adalah tahun 2020," kata Viryan.
Lalu, siapakah yang memimpin pemerintahan? Dalam UU Pilkada diatur, jika belum ada pasangan yang terpilih, maka pemerintah menugaskan penjabat untuk menjalankan pemerintahan.