Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kalau DPR Gulir Hak Angket ke KPU, Masyarakat Kehilangan Kepercayaan"

Kompas.com - 03/07/2018, 10:43 WIB
Reza Jurnaliston,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menyoroti wacana hak angket di kalangan anggota DPR, terkait pemberlakuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan Kota.

Perludem menyesali munculnya hak angket terhadap KPU tersebut.

"Kalau sampai DPR menggulirkan hak angket, maka masyarakat bisa kehilangan kepercayaannya pada DPR maupun orang-orang yang mengajukan hak angket itu," ucap Titi saat dihubungi Kompas.com, Selasa (3/6/2018).

Titi meyakini bila DPR akan menggunakan hak angket bisa memengaruhi elektabilitas para anggota DPR. Menurut Titi, sebaiknya DPR lebih fokus memperjuangkan aspirasi masyarakat di akhir masa kerjanya.

"Jadi saya kira sebaiknya anggota DPR fokus pada memperbaiki citra DPR dan betul-betul memperjuangkan apa yang menjadi aspirasi masyarakat," kata dia.

Baca juga: PKPU Larangan Koruptor Jadi Caleg, dari Sikap Jokowi hingga Ancaman Angket DPR

Tidak hanya itu, Titi bahkan berharap DPR memperkuat PKPU yang melarang mantan terpidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak, dengan memasukkan aturan itu menjadi undang-undang.

"Dibuat norma undang-undang, kan mereka (anggota DPR) bisa punya iktikad baik di akhir masa periode ini untuk mengusulkan undang-undang yang mengatur larangan mantan napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba untuk maju dalam pemilu," ucap Titi.

Sebelumnya, anggota Komisi II DPR Achmad Baidowi mengatakan, saat ini muncul wacana pengajuan hak angket kepada KPU terkait PKPU itu.

"(Hak angket) salah satu opsi yang coba kami ambil. Pembicaraan sudah di grup internal Komisi II karena melihat KPU ini sudah terlalu jauh melencengnya," kata Awi, sapaannya, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/7/2018).

"Saking (sampai) emosinya, teman-teman Komisi II bilang 'bisa-bisa KPU nih kita angketkan'. Itu jadi pembicaraan informal dan tidak menutup kemungkinan kalau ini tidak ada penyelesaian, mengental menjadi beneran," ujar dia.

Baca: Muncul Wacana Hak Angket Terkait Larangan Pencalegan Mantan Koruptor

Menurut Awi, pengajuan hak angket kepada KPU bukan hal baru. Sebab, pada 2009, DPR pernah mengajukan hak angket lantaran KPU dinilai bertanggung jawab terkait kesemrawutan Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Namun, Awi menolak jika usulan hak angket tersebut seolah diajukan DPR demi membolehkan mantan koruptor menjadi caleg.

Ia mengatakan, wacana digulirkannya hak angket itu dimunculkan karena DPR tidak ingin KPU melanggar undang -undang dalam membuat PKPU.

Semestinya niat baik KPU tidak dibenturkan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang membolehkan mantan koruptor menjadi caleg.

Menurut dia, KPU baru bisa memberlakukan larangan tersebut setelah Undang-undang Pemilu direvisi.

"Karena KPU ini lembaga penyelenggara pemilu harus patuh terhadap undang-undang. Kalau kita selalu memberikan toleransi kepada pelanggar undang-undang, negara ini bukan negara hukum kalau begitu," kata Awi.

Kompas TV Komisi Pemilihan Umum akhirnya merilis peraturan baru dalam Pemilu Legislatif 2019.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Politeknik KP Sidoarjo Buka Pendaftaran, Kuota Masyarakat Umum 80 Persen

Nasional
Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Surya Paloh: Nasdem Dukung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

Nasional
Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Nasional
Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com