Tetapi, bukan berarti tidak ada celah yang perlu dicermati pemimpin PKS dan Gerindra. Ada penurunan suara yang cukup signifikan dibandingkan era Ahmad Heryawan-Dede Yusuf dan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar.
Dengan kata lain, kekuatan mesin partai PKS dan juga Gerindra meskipun diyakini masih disegani, tetapi belum cukup untuk memastikan kader PKS kembali sebagai gubernur/wakil gubernur Jabar.
Lalu, kapitalisasi isu perubahan kepemimpinan nasional di 2019, masih belum terasosiasi kuat dengan sosok Prabowo. Resep ‘Pilihan Prabowo’ yang digulirkan Gerindra, terasa masih kurang "nendang", sebelum isu pergantian kepemimpinan nasional digulirkan sendiri secara solid tanpa diasosiasikan dengan satu sosok.
Ini menunjukkan Prabowo beserta Gerindra dan PKS, masih punya PR besar untuk mengasosiasikan calon presidennya sebagai sosok yang tepat untuk menggantikan presiden petahana di 2019.
Perlu ada penegasan dan komunikasi ke publik secara lebih luas dan intens, untuk menyingkirkan keraguan akan kesiapan Prabowo mengikuti kontestasi Pemilu 2019.
Kerja sama strategis
Sempat menjadi unggulan, Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi yang diusung Demokrat dan Golkar mesti menerima kenyataan merosotnya perolehan suara mereka dibandingkan dengan hasil berbagai survei.
Tumbangnya jagoan mereka bukan berarti Demokrat dan Golkar tidak mendapatkan apa-apa. Ada pembelajaran penting yang bisa mereka petik.
Kebersamaan duo Demokrat dan Golkar di Jawa Barat (dan juga Jawa Timur) bisa dianggap sebagai proses sinkronisasi awal kedua belah pihak.
Kerja sama erat dan hubungan baik Demokrat dan Golkar selama sepuluh tahun pemerintahan SBY, sempat terputus ketika Golkar memutuskan merapat ke koalisi partai pendukung Jokowi. Dengan kebersamaan di dua provinsi terpenting di Pilkada 2018, ada potensi kerja sama lebih strategis ke depannya.
Seperti yang kita ketahui, saat ini Golkar sedang mendorong Ketua Umumnya, Airlangga Hartarto, sebagai cawapres Jokowi. Dan, secara khitahnya, Golkar sangatlah pragmatis dan selalu berada di dalam kekuasaan.
Jika Airlangga tidak dijadikan cawapres oleh Jokowi, ada potensi Golkar bakal merapat ke koalisi lain yang lebih menjanjikan.
Ada aspirasi dari bawah dan kalangan senior di partai yang berharap Golkar menunjukkan marwahnya sebagai partai besar dan sebagai partai pemenang kedua di pemilu 2014 lalu dengan masuk ke dalam bursa capres atau cawapres di 2019.
Selain itu, opsi koalisi strategis Demokrat-Golkar bisa sebagai solusi, untuk memecah kebuntuan politik dan penengah dalam perseteruan mendalam antara kubu Jokowi dan Prabowo.
Masyarakat yang jenuh dengan pertarungan dua kubu ini, bisa berpaling ke koalisi Demokrat-Golkar sebagai opsi jalan tengah.
Kedua-duanya merupakan partai nasionalis religius yang cenderung moderat dan bisa diterima berbagai pihak. Dan, baik Golkar maupun Demokrat, sangat berpengalaman memimpin negara ini.
Tentu saja, jika Golkar dan Demokrat bersatu di tingkat nasional, bakal memberikan opsi lebih banyak bagi masyarakat Indonesia dalam memilih pemimpin nasional di 2019. Suatu kondisi yang bakal memperkuat perkembangan iklim demokrasi Indonesia.
Dinamika koalisi untuk pilpres 2019 memang masih sangat cair. Namun, hasil hitung cepat Pilkada Jabar 2018 ini, memberikan sedikit bocoran kepada kita, bagaimana potensi koalisi ke depannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.