Sekilas, semua itu terlihat hanya meme, bahan banyolan bin guyonan, bahkan olok-olok.
Namun, bila ditelisik—sebenarnya di-kepo-in—akun-akun yang melontarkan kalimat-kalimat bernada semacam contoh-contoh di atas, ada hal melegakan yang bisa diharapkan dari bangsa ini.
Sekilas saja, terlihat lontaran dari tim pemenang dan yang dikalahkan. Ada pula orang-orang yang selama ini dianggap lekat dengan partai penguasa dan teman-temannya, sebaliknya ada juga yang dari partai oposisi dan kawan-kawan.
Tak kalah banyak, celetukan pun datang dari mereka yang sejatinya apatis dengan praktik politik di negeri ini sampai saat ini.
Lalu, apa hal melegakan yang dapat diharapkan itu?
Dua gelembung besar kubu pendukung yang tak kunjung pecah sejak Pemilu Presiden 2014 sepertinya mulai mengempis secara alami lewat hajatan ini.
Luka dari Pilkada DKI Jakarta 2017 yang dikhawatirkan merembet dan meluas ke Pilkada Serentak 2018—yang terbesar sejak pertama digelar pada 2015—pun tak mewujud nyata. Kalaupun ada, rasanya terlokalisasi dan kasuistis.
Sepertinya, pilkada yang digelar bersamaan di 171 daerah ini mampu membuka mata mereka yang selama ini berkutat hanya di gelembungnya dan menampakkan kenyataan praktik politik Indonesia pada saat ini.
Fakta memperlihatkan, partai-partai yang dituding berseberangan di tingkat nasional atau di wilayah yang menjadi sorotan ternyata berkoalisi juga di wilayah lain. Pilkada Jawa Timur 2018 dapat menjadi salah satu contoh yang paling gampang dilihat.
Di pilkada ini, pasangan petahana didukung oleh partai penguasa, partai oposisi, dan juga partai yang sering disebut sebagai kawan akrab partai oposisi. Satu lagi pengusungnya adalah partai asal sang petahana.
Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, mendeteksi aura dan nuansa yang sama soal mengempisnya dua gelembung besar yang menyesakkan bangsa sejak 2014 tersebut.
"Tensi (Pilkada Serentak 2018) rasanya rendah. Kekuatan di balik gelembung itu terpecah," kata Ismail dalam percakapan renyah lewat telepon, Kamis (28/6/2018).
Ismail Fahmi dan Drone Emprit adalah sepasang "frasa" yang selama ini lekat dengan pemantauan percakapan di dunia maya, baik dari media sosial maupun media massa berbasis digital.
"Indonesia ini dasarnya suka damai. Malah suka yang aneh-aneh. Kalaupun ada yang ramai-ramai, biasanya karena 'digosok' (memakai) peristiwa yang lama," lanjut Fahmi.