"MUNGKIN rakyat tidak berani menyampaikan hal-hal yang menurut mereka kok begini, kasar sekali, kok terang-terangan....Biarlah saya SBY, warga negara biasa, penduduk Cikeas, Kecamatan Gunungputri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang bicara. Kalau pernyataan saya ini membuat intelijen dan kepolisian kita tidak nyaman dan ingin menciduk saya, silakan!"
Pernyataan Presiden keenam Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ini disampaikan pada keterangan pers di Hotel Santika, Bogor. Baca juga: SBY Ungkap Ketidaknetralan TNI, Polri, dan BIN dalam Pilkada
Konferensi pers digelar sebelum berkampanye untuk pasangan yang diusung Partai Demokrat, Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi.
Pernyataan yang mencengangkan. Bukan hanya soal tudingan ketidaknetralan aparat yang disebutnya sebagai oknum pada tiga lembaga negara yaitu Badan Intelijen Negara (BIN), TNI, dan Polri, tapi ada embel-embel yang tidak biasa di belakang pernyataannya.
Mantan Presiden ini siap ditangkap!
Tak terbayang, jika kejadian tersebut benar-benar terjadi. Belum pernah ada sejarah sepanjang Republik Indonesia, ada presiden maupun mantan presiden yang pernah ditangkap, atas kasus apa pun.
Sebegitu seriuskah apa yang terjadi, sehingga keluar pernyataan yang mencengangkan dari Presiden keenam RI ini?
Blak-blakan SBY 4 hari jelang pemilihan
Setidaknya ada sejumlah kasus yang disampaikan SBY dalam konferensi Pers. Ia bahkan menyebut sejumlah tokoh dalam pernyataannya.
Ia membuka pernyataannya dengan informasi kekalahan putra sulungnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dalam Pilkada DKI Jakarta. Ia menengarai ada kecurangan yang melibatkan aparat negara.
Ia menyinggung perihal pemanggilan Cawagub DKI Jakarta, wakil AHY kala itu, Sylviana Murni. Sylvi beberapa kali dipanggil polisi selama masa kampanye Pilkada DKI Jakarta terkait kasus korupsi dana bansos saat menjabat sebagai Wali Kota Jakarta Pusat.
Kasus itu kini tak jelas kelanjutannya.
SBY juga menyebutkan, beberapa jam sebelum pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta, Mantan Ketua KPK Antasari Azhar mengeluarkan pernyataan yang dianggap merusak kredibilitasnya.
SBY mengaku sudah melaporkan Antasari ke Polisi. Namun, sampai sekarang, menurutnya, tidak ada tindak lanjut atas laporan itu.
SBY juga menyebut sejumlah kasus yang merugikan, sebagian berbentuk intimidasi hingga dugaan kriminalisasi, atas calon yang diusung Partai Demokrat. Di antaranya yang terjadi di Papua, Kalimantan Timur, Jawa Timur, hingga Riau.
Tanggapan istana
Atas tudingan yang disampaikan SBY, pihak Istana yang diwakilkan Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin, membantahnya.
Ngabalin meminta agar tokoh bangsa bersabar dan menjaga suasana jelang Pilkada 2018 tetap teduh.
“Terkait dengan bapak Susilo Bambang Yudhoyono, dalam rangka menjaga situasi lebih baik dalam rangka menghadapi Pilkada ini, teman-teman yang memberikan feeding informasi, agar memberikan informasi yang validitasnya tidak diragukan,” kata Ngabalin kepada sejumlah wartawan, Minggu (24/6/2018).
Penelusuran Aiman
Saya mencari tahu, adakah operasi Intelijen yang sempat disiratkan SBY bisa dilakukan jelang Pilkada.
Direktur Komunikasi dan Informasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto dengan lugas mengatakan, tidak ada satu pun perintah yang dialamatkan kepada anggota BIN di mana pun untuk berpihak pada calon tertentu di ajang Pilkada.
Menurut Wawan, saat ini adalah era yang penuh keterbukaan. Bila ada kejanggalan dan bukti tentang anggotanya yang berpihak pada salah satu pasangan tertentu pada Pilkada 2018, maka dengan terbuka BIN akan menerima pelaporan itu, dan segera memproses sanksi serta hukum bagi anggotanya.
Saya, dalam program AIMAN yang tayang Senin (25/6/2018) pukul 8 malam di Kompas TV, menanyakan kepadanya, pernahkah dalam sejarah BIN yang diketahui Wawan, ada oknumnya yang terbukti “bermain” dalam kontestasi pemilihan, baik pemilu maupun pilkada?
Wawan menjawab, “Tidak boleh dan tidak pernah!”
Operasi dalam senyap
Operasi Intelijen di mana pun, di negara apa pun, dan sampai kapan pun, akan selalu dilakukan dengan senyap.
Operasi Intelijen dalam perhelatan demokrasi selalu ada, meski tidak melulu bermakna negatif.
Dosen Sekolah Tinggi Manajemen Analisa Intelijen (STINDUK) Bogor, Stepi Anriani, dalam bedah buku terbitan Gramedia yang berjudul "Intelijen dan Pilkada" menjelaskan, pendekatan Intelijen bisa digunakan bijak.
Pendekatan intelijen ampuh melawan politik uang (money politics) yang kerap mewarnai pesta demokrasi di daerah.
Bahkan, data intelijen yang mumpuni bisa dipakai untuk menyusun strategi pemenangan dan meningkatkan elektabilitas pasangan calon kepala daerah. Apa pun operasinya, sifat dari operasi intelijen adalah senyap.
Mantan Perwira Tinggi TNI yang sejak awal karier berada di lingkup Intelijen TNI dan menjadi Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI hingga 2014, Laksamana Muda (Purn) Soleman Ponto sempat mengungkapkan kepada saya,
“Tidak perlu ditanya adakah aksi intelijen jelang pemilu? Jawabannya pasti ada! Malah operasi itu harus dilakukan jauh sebelum pemilihan berlangsung, apakah itu Pilkada atau Pemilu.”
Menurut Soleman, operasi intelijen tidak akan pernah kelihatan. Tetapi, untuk mencirikannya mudah, tinggal dilihat, siapa yang diuntungkan dari gejala-gejala yang bisa dirasakan jelang pemilihan.
“Jika ada operasi Intelijen, ketahuan…, maka orang itu, waktu sekolah (intelijen), tidur!” tutup Jenderal bintang dua ini.
Saya Aiman Witjaksono.
Salam.