INTERNATIONAL Fact-Checking Network (IFCN) menggelar konferensi internasional di Roma, Italia. Organisasi nirlaba yang bernaung di bawah lembaga jurnalistik Poynter itu mendatangkan ratusan pengecek fakta untuk berdiskusi selama tiga hari, 20-22 Juni 2018.
Tim Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara diundang untuk menjadi bagian dalam konferensi internasional tersebut.
Pengecek fakta (fact checkers) yang datang di dalam konferensi itu berasal dari berbagai negara dan latar belakang. Beberapa dari mereka adalah wartawan atau pernah menjadi wartawan, namun tidak sedikit yang berprofesi sebagai aktivis lembaga swadaya masyarakat.
Direktur IFCN Alexios Mantzarlis menyatakan bahwa setiap sesi yang ada di dalam konferensi tersebut bertujuan meningkatkan kredibilitas dan kolaborasi antara pengecek fakta.
Alexios menggunakan istilah pengecek fakta, bukan jurnalis. Artinya, aktivitas verifikasi atau pengecekan fakta (fact-checking) yang selama ini identik dan melakat pada profesi jurnalis atau wartawan mulai luntur. Verifikasi sekarang mulai dilakukan oleh organisasi yang sejak awal lahir bukan sebagai lembaga jurnalistik.
Situasi ini sangat terlihat dari berbagai proyek atau inisiatif pengecekan fakta yang masuk di dalam jaringan IFCN. Sebagian besar inisiatif tersebut dilakukan oleh lembaga non-jurnalistik.
Dari 70 proyek atau inisiatif yang berada di daam jaringan IFCN, hanya sekitar 11 inisiatif yang datang dari perusahaan pers atau koalisi perusahaan pers.
Pers sebagai sasaran tembak
Sebagian perusahaan pers di Indonesia meneruskan tradisi lama yang menempatkan jurnalisme hanya sebagai cermin untuk memantulkan situasi, kondisi, atau informasi. Untungnya, beberapa media yang lain sangat rajin menggali kebenaran dari sebuah situasi atau informasi.
Proses menggali kebenaran itu pasti melibatkan aktivitas verifikasi atau pengecekan fakta. Sayangnya, proses pengecekan fakta itu hanya terjadi di "dapur" dan tidak disajikan di "meja makan".
Artinya, segala proses dan data yang didapatkan dari proses pengecekan fakta diolah oleh media di dapur redaksi menjadi sebuah hasil liputan. Hasil liputan ini yang nantinya menjadi menu utama yang disajikan di website, program televisi, atau berbagai rubrik surat kabar.
Masih sedikit (atau belum ada?) media di Indonesia yang menyediakan "menu khusus" yang berisi proses dan hasil pengecekan fakta. Jika tidak segera diantisipasi, situasi ini bisa berdampak buruk bagi perusahaan pers.
Gejala itu mulai muncul di dalam konferensi IFCN di Roma. Sebagian besar inisiatif pengecekan fakta yang tampil di dalam konferensi itu berasal dari koalisi masyarakat sipil, bukan perusahaan pers. Kalaupun ada jurnalis yang terlibat di dalam sebuah inisiatif, dia bertindak sebagai pribadi yang menjadi bagian dari koalisi masyarakat sipil.
Situasi ini bisa merugikan media atau pers. Dalam beberapa kasus, media justru menjadi "sasaran tembak" dari sebuah proyek pengecekan fakta. Artinya, sebuah proyek pengecekan fakta tidak hanya fokus pada pengecekan pernyataan figur publik. Namun, proyek-proyek pengecekan fakta juga menyasar konten-konten yang dihasilkan oleh media massa.
FactNameh adalah contoh nyata. Ini adalah portal pengecekan fakta pertama di Iran. Fokus utama proyek ini adalah mengecek kebenaran pernyataan dan klaim yang diungkapkan oleh para politisi di Iran.