JAKARTA, KOMPAS.com - Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum kembali diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal tersebut mengatur syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Sebelumnya, MK sudah menolak uji materi pasal tersebut. Dengan demikian, syarat pengusungan capres-cawapres tidak berubah.
Baca juga: MK Tolak Uji Materi Presidential Threshold
Parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres pada 2019.
Karena pemilu legislatif dan pemilu presiden 2019 digelar serentak, ambang batas yang digunakan adalah hasil pemilu legislatif 2014 lalu.
Hadar Nafis Gumay, salah satu pemohon yakin permohonan kembali uji materi pasal yang sama akan dikabulkan MK.
Uji materi itu diajukan Hadar bersama 11 orang lainnya.
"Sebab, argumentasi permohonan uji materi tersebut berbeda dibandingkan permohonan sebelumnya," ujar Hadar di depan Gedung MK, Jakarta, Kamis (21/6/2018).
Baca juga: Melihat Peta Politik Pilpres 2019 Pascaputusan MK soal Presidential Threshold
Berikut sembilan argumentasi yang mendasari permohonan kali ini :
1. Pasal 222 UU 7/2017 mengatur “syarat” capres-cawapres bertentangan dengan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan “tata cara”.
2. Pengaturan delegasi “syarat” capres ke UU ada pada Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh parpol, sehingga pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur “syarat” capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945.
3. Pengusulan capres dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung bukan “Pemilu anggota DPR sebelumnya”, sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
4. Syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah "close legal policy" bukan "open legal policy", sehingga pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
5. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
6. Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945.