JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Khairul Fahmi mengapresiasi larangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg yang disusun Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui peraturan KPU (PKPU).
Namun Khairul menilai sulit bagi KPU untuk mempertahankan kebijakan itu.
Hal ini mengingat Kementerian Hukum dan HAM mengembalikan PKPU tersebut ke KPU atas dasar bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Oleh karena itu, ia menyarankan KPU memperkuat dorongan kepada partai-partai politik untuk menerapkan larangan tersebut sebagai aturan internal.
Hal itu menjadi solusi alternatif menyikapi tarik-menarik KPU dan Kemenkumham yang terus berlanjut terkait PKPU tersebut.
Baca juga: Tolak PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg, Kemenkumham Dinilai Inkonsisten
"Kalau menurut saya, salah satu solusinya ini didorong sebagai kesepahaman partai saja untuk tidak mengajukan calon untuk menegaskan catatan itu. Kalau mau diformalkan di PKPU akan sulit, karena undang-undang kita tidak mengatur demikian," ujar Khairul kepada Kompas.com, Rabu (13/6/2018).
Menurut Khairul, kelemahan aturan ini termuat di PKPU. Padahal, kata Khairul, seharusnya aturan itu menjadi materi muatan undang-undang. Situasi itu membuat KPU semakin tak bisa memaksakan aturan tersebut.
"Sulit dipaksakan menjadi aturan formal di PKPU, baik itu tidak sesuai dengan undang-undang dan itu bukan materi yang semestinya dimuat di PKPU tapi dalam undang-undang," kata dia.
Ia menyarankan agar KPU fokus mengkomunikasikan larangan tersebut secara intensif ke seluruh partai politik peserta Pemilu 2019.
Langkah itu dinilainya sebagai jalur alternatif KPU untuk menerapkan aturan tersebut. Partai juga diharuskan mendukung semangat KPU menciptakan pemilu yang bersih.
Baca juga: Sandera PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg, KPU Sebut Kemenkumham Lampaui Kewenangannya
"Ide ini harus ditransfer ke partai supaya menerapkan itu dalam proses seleksi calegnya. Kalau partai menerapkan itu kan tidak perlu susun PKPU-nya atau memuatnya di undang-undang. Kalau itu jadi kebijakan partai, itu persoalan (tarik-menarik KPU dan Kemenkumham) sudah selesai," kata dia.
Tarik-menarik KPU dan Kemenkumham
Sebelumnya, Kemenkumham enggan memproses pengundangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang melarang eks narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif menjadi peraturan perundang-undangan.
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Widodo Ekatjahjana mengatakan, PKPU tersebut telah dikembalikan ke KPU.
"Sudah kita sampaikan kembali ke KPU supaya dilakukan sinkronisasi dan penyelerasan," kata Widodo kepada Kompas.com, Senin (11/6/2018).
Baca juga: Meski Belum Diundangkan, PKPU Pencalonan Pileg Tetap Disosialisasikan
Widodo menyampaikan agar PKPU yang dimohonkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan putusan-putusan MK.
Menanggapi hal tersebut, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Aziz menyebut Kemenkumham melampaui kewenangannya karena enggan segera mengundangkan Peraturan KPU (PKPU) soal larangan mantan narapidana kasus korupsi ikut Pileg 2019.
Alasannya, Kemenkumham mengambil kewenangan lembaga lainnya yang berhak mengoreksi substansi suatu peraturan perundang-undangan itu apakah sesuai atau tidak dengan Undang-Undang yang lebih tinggi.
"Jadi Kemenkumham tidak bisa lakukan demikian. Kemenkumham sudah ambil porsi dari Mahkamah Agung. Abuse of power, lampaui kewenangan," kata Viryan di kantor KPU RI, Jakarta, Selasa (12/6/2018).
Baca juga: KPU Minta Kemenkumham Tak Hambat Pengundangan PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg
Menurut Viryan, dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah jelas diatur, bahwa kewenangan untuk mengoreksi substansi suatu peraturan perundang-undangan itu adalah ranah Mahkamah Agung.
Aturan itu tertulis pada pada pasal 9 ayat 2 UU tersebut. Bunyinya adalah dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
"Kami pertanyakan dari segi regulasi, karena sudah disebutkan di dalam UU nomor 12 tahun 2011, pasal 9 ayat 2 yang terkait dengan konten di aturan itu harus diuji materi di MA," terang Viryan.