"Ada yang menyebut mahar di pilkada itu kan tinggi, mahar caleg pun ada. Dan itu fakta, kalau Bawaslu tidak kuat mengejar ini, maka keterwakilan perempuan secara nyata sulit diwujudkan," ujar dia.
"Ketika misalnya orang yang ingin mendapatkan nomor urut pertaruhannya ditentukan biaya administrasi. Teman-teman perempuan kalau diminta Rp 100 juta misalnya, berapa kuantitas peserta caleg perempuan yang mampu?" kata Syamsuddin.
Baca juga: Ini Usul ke KPU agar Keterwakilan Perempuan pada Pemilu 2019 Meningkat
Menurut dia, situasi itu membuat keinginan perempuan maju dalam ruang politik terhambat. Caleg perempuan hanya dianggap sebagai pengepul suara untuk caleg laki-laki dengan nomor urut teratas.
Perempuan juga dipaksa secara halus berperan sebagai pelengkap syarat 30 persen keterwakilan perempuan.
"Kalau mau mendapatkan kebijakan yang berkualitas di parlemen, kebijakan yang responsif gender maka keterwakilan perempuan dalam ruang politik harus dipenuhi, bukan hanya sekadar aksesoris, akan sia-sia," kata Syamsuddin.
Perempuan pun ditempatkan di wilayah pemilihan yang berpotensi mengancam keamanannya. Syamsuddin melihat skenario itu disengaja, agar keluarga caleg perempuan berpikir ulang untuk menarik mereka tidak maju dalam kontestasi politik.
"Calegnya di pegunungan, lalu dia bertarung seorang diri seorang perempuan pasti akan diledek, karena pulang malam misalnya. Ketika dia dipersempit ruang geraknya, ada tekanan disitu dan belum (tekanan) caleg lain, problem lain parpol tidak melindungi, dan membiarkan pertarungan bebas," ujar Syamsuddin.
"Ancaman-ancaman itu yang bisa kemudian diatasi kalau penyelenggara kita memastikan proteksi dari (awal) proses, dan juga hasil pemilu harus dikawal," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.