JAKARTA, KOMPAS.com - Masuknya sejumlah tindak pidana khusus dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil.
Selain ketentuan tindak pidana korupsi, pengaturan tindak pidana berat terhadap hak asasi manusia (HAM) juga menjadi sorotan.
Pasalnya, ketentuan tindak pidana terhadap HAM dalam RKUHP justru tak memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu.
Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, masuknya sejumlah pasal tindak pidana terhadap HAM ke RKUHP akan menghapus beberapa asas hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM).
Salah satu asas penting yang tak akan berlaku lagi adalah asas retroaktif.
"Kalau pakai draf sekarang, enggak akan ada lagi asas retroaktif," ujar Erasmus saat ditemui di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (10/6/2018).
Baca: RKUHP Berpotensi Hentikan Penuntasan Pelanggaran HAM Masa Lalu
Asas retroaktif memungkinkan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu atau kasus yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM terbit diproses secara hukum. Sebab, UU Pengadilan HAM dapat berlaku surut.
Asas ini memang bersifat khusus karena KUHP tidak mengenal ketentuan tersebut.
Pasal 1 ayat (1) Buku Kesatu KUHP mengatur soal asas non retroaktif atau tidak berlaku surutnya aturan pidana terhadap suatu tindak kejahatan yang terjadi sebelum UU diterbitkan.
Namun, menurut Erasmus asas retroaktif akan hilang begitu tindak pidana berat terhadap HAM diatur dalam KUHP.
Pasal 723 RKUHP per 9 April 2018 menyebutkan, dalam jangka waktu 1 tahun sejak KUHP dinyatakan berlaku, Buku Kesatu menjadi dasar bagi ketentuan-ketentuan pidana lainnya, termasuk UU Pengadilan HAM.
"Pasal yang sudah dicabut dari UU Pengadilan HAM masuk ke KUHP, ya akan ikut Buku Kesatu. Kalau enggak ada aturan khusus di Buku Kesatu atau penyebutan khusus maka seluruh ketentuan pidana di Buku Kedua harus ikut Buku Kesatu," kata Erasmus.
Baca juga: Muhammadiyah Pertanyakan Janji Nawa Cita Jokowi soal HAM
Secara terpisah, Kepala Bidang Advokasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Putri Kanesia mengatakan, masuknya ketentuan tindak pidana berat terhadap HAM dalam RKUHP akan menimbulkan ketidakadilan bagi keluarga korban.
Menurut Putri, hilangnya ketentuan asas retroaktif berpotensi menutup upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.
"(Pengaturan) ini menutup peluang untuk mendorong penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dan upaya korban untuk mendapatkan keadilan," ujar Putri.
Saat ini ada tujuh kasus pelanggaran HAM yang belum diusut tuntas. Meski berkas penyelidikan Komnas HAM telah diserahkan ke Kejaksaan Agung, namun belum ada proses penyidikannya.
Ketujuh kasus itu adalah Kasus Semanggi I dan II, peristiwa penghilangan paksa pada 1997-1998, Tragedi Mei 1998, Kasus Talang Sari, Kasus Penembakan Misterius, Tragedi 1965-1966, serta Kasus Wasior dan Wamena.
Baca: Komnas HAM Nilai RKUHP Lumpuhkan Penuntasan Kejahatan HAM Masa Lalu
Persoalan lain yang menjadi sorotan Putri adalah tidak dicantumkannya asas pertanggungjawaban komando. Dengan demikian, hanya pelaku lapangan saja yang dapat diadili di pengadilan.
Putri mengatakan, tidak diaturnya ketentuan pertanggungjawaban komando dalam RKUHP tak sesuai dengan asas hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pasal 42 UU Pengadilan HAM menyebutkan, komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pasukannya.
Artinya, jika suatu pelanggaran HAM dilakukan oleh pihak militer, maka komandan tertinggi lembaga tersebut bisa diadili sesuai dengan tindak pidana yang terjadi.
Baca: Berdasarkan RKUHP, Hanya Pelaku Lapangan yang Diadili Terkait Pelanggaran HAM
Jadi kejahatan biasa
Putri menilai, dengan masuknya tindak pidana HAM dalam RKUHP akan menghilangkan norma khusus yang diatur dalam UU Pengadilan HAM.
Selain itu, pelanggaran HAM akan menjadi delik biasa dalam RKUHP dan kehilangan sifatnya sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
"Yang pasti ada kekhawatiran soal hilangnya kekhususan dari UU Pengadilan HAM itu sendiri. Pelanggaran HAM masuk kategori extraordinary crime, kalau dimasukkan ke KUHP, jadi seperti delik pidana biasa," kata Putri.
Berdasarkan draf RKUHP per 9 April 2018, tindak pidana berat terhadap HAM diatur dalam bab Tindak Pidana Khusus Pasal 680 sampai 683.
Bentuk pelanggaran HAM yang diatur mencakup genosida, serangan meluas dan sistematis terhadap warga sipil, tindak pidana dalam konflik bersenjata atau perang, dan agresi.