JAKARTA, KOMPAS.com - Pengajar Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Miko Ginting berpendapat bahwa upaya pemerintah mengkonsolidasikan peraturan hukum pidana tak harus melalui rekodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Seperti diketahui pemerintah dan DPR memasukkan ketentuan hukum pidana khusus seperti tindak pidana korupsi dan tindak pidana hak asasi manusia (HAM) ke dalam Rancangan KUHP.
Menurut Miko, upaya pengintegrasian seluruh ketentuan hukum pidana cukup dengan membuat kompilasi peraturan perundang-undangan.
"Konsolidasi hukum tidak harus melalui rekodifikasi, bisa dengan kompilasi peraturan perundang-undangan," ujar Miko dalam sebuah diskusi terkait RKUHP, di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta Selatan, Minggu (10/6/2018).
Miko mengatakan, tak dapat dipungkiri saat ini terdapat perkembangan hukum pidana yang diatur dalam undang-undang tersendiri di luar KUHP. Jumlahnya sekitar 200 peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Ketentuan Tipikor Dalam RKUHP Berpotensi Timbulkan "Korupsi Dagang Pasal"
Ia menilai, upaya mengintegrasikan seluruh ketentuan pidana cukup dengan membuat kompilasi peraturan yang secara resmi diterbitkan oleh pemerintah.
Di sisi lain, dengan adanya kompilasi tersebut, masyarakat dapat mengetahui peraturan apa saja yang sudah tidak berlaku dan peraturan yang masih berlaku.
"Kompilasi itu memuat semua ketentuan di dalam maupun di luar KUHP, maana yang masih berlaku dan mana yang sudah tidak berlaku lagi," kata Miko.
Sebelumnya, pemerintah tetap pada sikapnya untuk memasukkan empat pasal UU Tipikor ke dalam RKUHP. Empat pasal itu adalah Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, dan Pasal 11.
Ketua Tim Panitia Kerja (Panja) RKUHP Enny Nurbaningsih mengungkapkan bahwa hal itu bertujuan untuk menyusun kembali kodifikasi hukum pidana nasional.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.