BELAKANGAN ini muncul sebuah pertanyaan yang sangat menggelitik, yaitu apakah pilot Angkatan Udara bisa menerbangkan pesawat terbang sipil komersial?
Jawabannya “bisa”, yaitu setelah menjalani beberapa tahapan, karena menerbangkan pesawat terbang sipil komersial adalah domain yang sangat berbeda dibanding standar prosedur terbang operasional di Angkatan Udara.
Untuk menerbangkan pesawat terbang sipil komersial atau menerbangkan jenis pesawat yang berbeda, maka seorang pilot harus melalui sebuah proses penyesuaian yang dikenal dengan “Conversion Training Program” yang secara garis besar terdiri dari “Ground School” dan “Flight Training” termasuk di dalamnya latihan Simulator.
Setelah selesai dan lulus dalam menjalani program ini maka untuk dapat terbang secara operasional di sebuah Maskapai Penerbangan Sipil Komersial, seorang Pilot harus memiliki SIM penerbangan sipil yang dikenal sebagai ATPL, Airline Transport Pilot Liecence berstandar Internasional, sesuai ketentuan dan regulasi ICAO, International Civil Aviation Organization.
Baca juga: Menhub Setuju Pilot AU Terbangkan Pesawat Garuda
Hal ini menjadi sebuah keharusan karena Indonesia sebagai member state dari ICAO harus tunduk kepada International Civil Regulation antara lain mengenai pasal-pasal di CASR, Civil Aviation Safety Regulation.
Untuk di Indonesia yang mewakili ICAO termasuk dalam hal memgeluarkan ATPL berada di otoritas penerbangan sipil nasional yaitu Kementrian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, sebagai regulator penerbangan sipil komersial.
Proses dalam mengikuti “Conversion Training Program” dan untuk dapat memperoleh ATPL akan memakan waktu yang cukup panjang (1 hingga 2 tahun tergantung pada beberapa faktor) dan juga biaya yang tidak sedikit, termasuk di dalamnya tentang Commercial Pilot Insurance.
Sehingga dengan demikian maka pihak maskapai penerbangan pasti selalu akan memperhitungkan hal tersebut dengan durasi masa pakai sang pilot bertugas di perusahaannya. Di sinilah antara lain maka diperlukan perencanaan yang matang serta dasar hukum yang jelas dalam melandasi proses penugasan seorang Pilot AU di maskapai penerbangan sipil komersial.
Penugasan Pilot Angkatan Udara di maskapai penerbangan sipil komersial tentu saja akan berhadapan dengan beberapa faktor risiko termasuk keuntungan dan kerugiannya. Sang pilot yang ditugaskan terbang di luar AU, biasanya akan memperoleh jam terbang dan pengalaman terbang yang lebih banyak dari teman-temannya yang terbang di AU.
Akan tetapi dalam proses pengembangan karier sebagai perwira di Angkatan Udara, mereka akan relatif tertinggal oleh teman-teman seangkatannya.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah mungkin itu semua untuk dilakukan? Jawabannya adalah “sangat mungkin” dan hal tersebut pernah terjadi pada sekitar tahun 1970 hingga tahun 1990-an.
Banyak Pilot AU yang bertugas di maskapai penerbangan sipil komersial, antara lain di Garuda Indonesia, Merpati Nusantara Airlines, dan Mandala.
Baca juga: Sudah Lobi Asosiasi Pilot Garuda Indonesia, Moeldoko Yakin Mereka Tidak Jadi Mogok Kerja
Pada era tersebut secara nasional, maskapai penerbangan sipil kekurangan pilot, sementara di AU kekurangan pesawat terbang. Di situlah, maka pemerintah di kala itu mengeluarkan sebuah kebijakan strategis dalam mengatasi persoalan tersebut.
Penugasan pilot AU di penerbangan sipil bukanlah sesuatu yang aneh. Bahkan penerbangan sipil di Indonesia termasuk keberadaan Garuda Indonesia dirintis oleh Angkatan Udara pada masa awal kemerdekaan RI yang dieksekusi oleh KSAU Marsekal Suryadarma, atas instruksi langsung dari Presiden Soekarno.
Hal tersebut adalah sebagai tindak lanjut hasil KMB, Konferensi Meja Bundar yang mengamanatkan pengambilalihan jalur penerbangan sipil komersial domestik dari KNILM, maskapai penerbangan Hindia Belanda kepada pemerintah Indonesia.