JAKARTA, KOMPAS.com - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terancam gagal menjadi "kado" dari DPR untuk HUT RI ke-73 pada Agustus mendatang.
Saat acara buka puasa bersama Presiden Joko Widodo, Senin (28/5/2018), Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memastikan pembahasan RKUHP akan selesai sebelum peringatan HUT RI ke-73.
Bahkan, ia menjanjikan KUHP akan menjadi kado bagi bangsa Indonesia dari DPR saat peringatan kemerdekaan RI.
Namun, dalam rapat koordinasi terbatas yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, masih terdapat perbedaan pendapat soal masuknya sejumlah pasal tindak pidana korupsi (tipikor) dalam rancangan KUHP (RKUHP).
Baca juga: Ini Alasan Pemerintah Usulkan Tindak Pidana Korupsi Diatur dalam RKUHP
Hadir dalam rapat itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, Ketua Tim Panitia Kerja (Panja) RKUHP dari pemerintah Enny Nurbaningsih dan anggota Tim Panja RKUHP dari DPR Arsul Sani.
Pemerintah dan DPR dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum mencapai titik temu terkait persoalan tersebut.
Di sisi lain, RKUHP juga mendapat sorotan publik karena sejumlah pasal yang dianggap kontroversial. Setidaknya ada 16 pasal yang menjadi pending isu dalam pembahasan antara pemerintah dan DPR.
Baca juga: Muhammadiyah Nilai Pasal Korupsi di RKUHP sebagai Operasi Senyap Lemahkan KPK
Misalnya, RKUHP mendapat penolakan dari masyarakat karena memasukkan perluasan pasal zina. Aturan ini dinilai mengancam adanya kriminalisasi di ranah privat. Pasal zina juga dianggap berpotensi mengkriminalisasi korban pemerkosaan dan kelompok rentan.
Pasal lain yang menjadi sorotan adalah pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, serta pasal penghinaan pemerintah. Pasal ini dikhawatirkan mengancam kebebasan berekspresi masyarakat dan menjadi alat pemerintah untuk membungkam kritik.
Perbedaan pendapat
Wiranto menilai perbedaan pendapat terkait hal itu merupakan hal yang lumrah. Sebab, proses pembahasan masih terus berjalan.
"RUU KUHP ini kan belum final. Masih dalam proses. Kalau di sana sini ada perbedaan lumrah saja dan saat ini kami mencoba untuk menyatukan pendapat dalam mengatasi perbedaan itu," ujar Wiranto saat memberikan keterangan usai rapat koordinasi terbatas di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Kamis (7/6/2018).
Beberapa hal yang menjadi perdebatan antara lain terkait ketentuan mengenai sanksi atau ancaman pidana dan masuknya delik tipikor dalam RKUHP.
Oleh sebab itu, kata Wiranto, pertemuan lanjutan masih akan terus dilakukan untuk menyatukan pendapat.
"Dengan demikian maka kami sepakat akan ada pertemuan-pertemuan berikutnya untuk mematangkan ini," kata Wiranto.
Pemerintah dan DPR tetap berpendapat bahwa empat pasal pidana pokok dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) harus diatur dalam RKUHP. Empat pasal itu adalah Pasal 2, 3, 5 dan 11.