KOMPAS.com - Hari ini pada 97 tahun silam, tepatnya 8 Juni 1921, seorang bayi bernama Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Bantul, Yogyakarta.
Mungkin tidak ada yang menyangka saat itu bahwa anak dari pasangan Kertosudiro dan Sukirah ini kelak mencatatkan sejarah sebagai orang yang berkuasa selama 32 tahun di Indonesia.
Apalagi, Soeharto hanya anak dari seorang ulu-ulu atau petugas pengatur air dengan ibu rumah tangga, seperti pasangan yang tinggal di desa pada umumnya.
Namun, mengenang Soeharto pada tahun 2018 ini terasa beda, karena ikut mengenang juga 20 tahun reformasi yang menandai akhir kekuasaannya.
Baca juga: JEO - 20 Tahun Reformasi, Catatan Perubahan Indonesia di Bidang Politik
Ada dua momentum penting yang menggambarkan pengujung kekuasaan Soeharto sebagai presiden.
Pertama, pada 11 Maret 1998, saat "The Smiling General" itu terpilih untuk kali ketujuh sebagai orang nomor satu di Tanah Air.
Saat itu, Soeharto terlihat berkuasa karena berhasil membulatkan suara anggota MPR untuk menunjuknya sebagai penerima mandat MPR, alias presiden.
Padahal, tuntutan pergantian kepemimpinan nasional semakin terdengar saat Soeharto dianggap melakukan sejumlah cara untuk mempertahankan kekuasaan dengan memenangkan Pemilu 1997.
Momentum penting kedua adalah pada 20 Mei 1998, sehari sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran diri dari jabatan presiden.
Saat itu, tergambar sosok Soeharto yang tak berdaya saat situasi politik semakin menyudutkan posisinya. Bermacam cara Soeharto untuk bertahan terlihat sia-sia karena desakan mundur yang semakin kuat.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.