JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah membantah pihaknya mendiskreditkan mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna dalam sejumlah panggilan pemeriksaan terkait kasus pengadaan Helikopter AgustaWestland 101 (AW101).
Hal itu untuk merespons pernyataan Agus yang menyatakan KPK sempat menganggap dirinya tak memenuhi panggilan KPK. Agus menilai pernyataan KPK mendiskreditkan namanya.
"Saya kira tidak benar ya, tentu tidak ada pernyataan ataupun respons yang disampaikan untuk mendiskreditkan pihak lain," kata Febri di gedung KPK, Jakarta, Rabu (6/6/2018) malam.
Febri menjelaskan, ketika ada pemanggilan saksi, namun tak dipenuhi oleh yang bersangkutan, KPK berhak mengumumkannya kepada publik luas, begitupun sebaliknya.
Baca juga: Dipanggil KPK, Mantan KSAU Agus Supriatna Mengaku Tak Terima Surat Panggilan
"Jika saksi diagendakan, namun tidak hadir tentu menjadi hak publik mengetahui apakah pemeriksaan dilakukan atau tidak dilakukan. Pada dasarnya ini hak publik. Jadi itu informasi standar yang dilakukan KPK," kata dia.
Sebelumnya, Agus merasa dirugikan oleh pernyataan KPK yang sempat menganggap dirinya tak memenuhi panggilan KPK.
"Tanggal 11 Mei 2018, katanya sudah dipanggil, tapi saya dibilang tidak datang. Padahal suratnya itu tidak pernah saya terima," kata Agus.
Baca juga: Diperiksa KPK, Mantan KSAU Jelaskan Prosedur Pengadaan Alutsista TNI
Seharusnya, menurut dia, KPK perlu melakukan cross check pengiriman dan penerimaan surat panggilan terhadap dirinya. Ia menilai pernyataan dari KPK mendiskreditkan namanya.
"Ini betul-betul mendiskreditkan nama saya. Itu sama sekali tidak diklarifikasi dan minta maaf," kata Agus.
Agus telah memenuhi pemeriksaan kemarin sebagai saksi untuk tersangka Direktur PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh.
Dinilai prematur
Kuasa hukum Agus, Teguh Samudra menyatakan, kliennya menjelaskan rangkaian prosedur dan aturan terkait pengadaan barang di TNI kepada penyidik KPK. Sebab, penyidik tak mengetahui proses pengadaan di dalam TNI.
"Itu dijelaskan aturan-aturan dari masalah RAPBN sampai peraturan bersama antara Menteri Keuangan dengan Menteri Pertahanan. Peraturan Menteri Pertahanan, Peraturan Panglima itu dijelaskan kepada penyidik," kata Teguh.
Hal itulah yang membuat pemeriksaan kliennya berlangsung sekitar tujuh jam. Teguh menilai, penetapan adanya tindak pidana korupsi dalam kasus pengadaan helikopter ini terkesan terburu-buru.
Baca juga: KPK Apresiasi Keterangan Mantan KSAU dalam Kasus Heli AW101
Tim kuasa hukum juga menilai perkara ini masih prematur dan belum ada audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan adanya kerugian negara.
Diketahui, pembelian helikopter AW101 bermasalah karena adanya dugaan penggelembungan dana. Awalnya, pengadaan dikhususkan pada heli jenis VVIP untuk keperluan presiden.
Anggaran untuk heli tersebut senilai Rp 738 miliar. Namun, meski ditolak oleh Presiden Joko Widodo, pembelian heli tetap dilakukan.
Jenis heli diubah menjadi heli untuk keperluan angkutan. Selain itu, heli AW101 yang dibeli tersebut tidak cocok dengan spesifikasi yang dibutuhkan TNI Angkatan Udara.