JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua DPP PDI Perjuangan mendukung langkah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly yang tak mau meneken Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait larangan mantan koruptor mendaftar sebagai calon anggota legislatif (caleg).
Hal itu disampaikan Trimedya menanggapi polemik PKPU Pencalonan tersebut.
"Kalau kami ini yang berlatar belakang hukum, itu kan legalistik berpikirnya. Orang tidak boleh melampaui kewenangannya. Apa yang ada di undang-undang itu saja laksanakan," kata Trimedya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/6/2018).
Trimedya meminta KPU tak memaksakan aturan yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, tepatnya pada Pasal 240 ayat 1 huruf g.
Baca juga: KPU Desak Kemenkumham Segera Undangkan PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg
Dalam pasal tersebut, dinyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.
Dengan demikian, mantan narapidana korupsi, menurut UU Pemilu, dapat mencalonkan diri sebagai caleg.
Ia menilai larangan tersebut berpotensi melanggar HAM karena membatasi hak politik seseorang yang dijamin dalam UUD 1945.
Trimedya mengatakan, selama tak dicabut pengadilan, hak politik seseorang untuk dipilih dan memilih tetap harus dijamin.
Ia pun meminta KPU tak melempar bola ke Presiden dengan meminta dikeluarkannya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terkait PKPU tersebut.
"Itu enggak boleh. Apa-apa bola dibuang ke Presiden. Ikuti saja sebagai pelaksana undang-undang apa yang tertera di dalamnya. Kalau keberatan ya diajak dialog. Parpol juga diajak dialog, jangan sepihak. Dia buat aturan yang bertentangan dan tak ada komunikasi dengan parpol," kata Trimedya.
Baca juga: KPU: Jika PKPU Larangan Eks Koruptor Nyaleg Melanggar UU, Keluarkan Perppu
Yasonna sebelumnya menegaskan bahwa dirinya tidak akan menandatangani draf Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengatur larangan mantan narapidana kasus korupsi untuk maju dalam Pemilu Legislatif 2019.
Menurut Yasonna, PKPU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu.
"Jadi nanti jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang," ujar Yasonna saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/6/2018).
Yasonna mengatakan, KPU tidak memiliki kewenangan untuk menghilangkan hak politik seseorang selama tidak diatur dalam undang-undang.
"Menghilangkan hak orang itu tidak ada kaitannya dengan PKPU, tidak kewenangan KPU. Yang dapat melakukan itu adalah undang-undang dan keputusan hakim. Itu saja," ucapnya.
Baca juga: Menkumham Dinilai Tak Miliki Wewenang Tentukan Pelanggaran dalam PKPU
Hal berbeda disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Menurut Kalla, KPU punya kewenangan penuh dalam membuat aturan penyelenggaraan Pemilu.
Karena itu, Kalla meminta Kemenkumham menghargai wewenang tersebut.
"Dalam hal Pemilu, tentu yang punya kewenanangan untuk mengatur hal-hal yang perlu diatur adalah KPU. Hargai tugas masing-masing," kata dia.
Apalagi, kata Kalla, ada mekanisme hukum yang bisa ditempuh setiap orang yang keberatan dengan PKPU tersebut jika sudah diundangkan.