JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mochammad Jasin prihatin atas masuknya pasal korupsi dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebab, pada dasarnya korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang memerlukan penanganan khusus dengan memisahkan pasal-pasal korupsi dari KUHP.
"Di dalam situasi yang sekarang ini, karena semua sendi-sendi kehidupan dan kegiatan dimasuki unsur korupsi. Nah, di dalam kaitannya dengan RKUHP, khusus korupsi tentunya dalam rangka menyelamatkan tujuan kita untuk pemberantasan korupsi, ini harus dipisahkan dari KUHP," kata Jasin dalam konferensi pers di gedung KPK, Selasa (5/6/2018).
Jasin menilai pemerintah seharusnya mendukung KPK dan agenda pemberantasan korupsi. Ia khawatir, jika RKUHP disahkan pada 17 Agustus nanti, akan banyak hal-hal yang bisa membuat KPK menjadi tak berdaya. Hal itu juga berdampak pada upaya pemberantasan korupsi ke depannya.
Baca juga: Ditanya Keberatan KPK tentang RKUHP, Ini Kata Jokowi
"Jadi mari kita tetap concern korupsi adalah musuh kita bersama, hambatan menuju adil dan makmur berdasarkan Pancasila itu salah satunya korupsi," kata dia.
Hal senada juga diungkapkan Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Virgo Sulianto. Menurut dia, KPK dan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia perlu diperkuat.
Virgo heran dengan DPR dan Pemerintah yang memperlihatkan nalar-nalar yang bertentangan dengan harapan publik.
Padahal, korupsi merupakan penghambat proses pembangunan di Indonesia. Ia menilai jika RKUHP disahkan, akan menjadi kemunduran bagi agenda pemberantasan korupsi dan melemahkan KPK.
Baca juga: Ini Pasal dalam RKUHP yang Berpotensi Melemahkan Pemberantasan Korupsi
"Itu yang kemudian kita dorong. Jadi kita akan sampaikan kepada DPR dan Pemerintah, argumen dan naskah kami yang akan disampaikan untuk mengeluarkan pasal tipikor dari RKUHP," kata dia.
Virgo juga mengingatkan agar Presiden Joko Widodo menunjukkan komitmen kuatnya dalam pemberantasan korupsi. Ia tak ingin Presiden menjadi serba tak tahu ketika RKUHP disahkan ketika ada pasal-pasal korupsi yang justru melemahkan KPK.
"Jadi Presiden punya kewenangan yang besar. Presiden punya kesempatan yang besar untuk membutikan komitmen pemberantasan korupsi untuk segera menghilangkan pasal tipikor ini dari RKUHP, tentu ini ujian bagi Presiden," kata dia.
Di sisi lain, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menegaskan, masyarakat sipil selalu berpegang bahwa pasal korupsi harus berada di luar RKUHP.
Menurut Lalola, seharusnya DPR dan Pemerintah merevisi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lebih akomodatif dan menjawab perkembangan modus kejahatan korupsi.
Baca juga: Minta Pasal Korupsi Dikeluarkan dari RKUHP, KPK Lima Kali Surati Presiden
"Itu lebih akomodatif ketimbang memasukan tindak pidana korupsi dalam RKUHP. Karena sudah barang tentu akan lebih sulit untuk melakukan revisi dalam konteks RKUHP dibandingkan UU Tipikor sendiri," kata Lalola.
Kalola meyakini pihak-pihak yang bergerak pada penanganan kejahatan luar biasa menginginkan pasal-pasal tindak pidana khusus bisa berada di luar RKUHP.
"Karena itu, kecenderungannya akan menyulitkan kewenangan perkara yang masing-masing dilakukan oleh lembaga independen ini," kata dia.
Lalola juga melihat minimnya kajian akademik, khususnya terkait dasar teoritis yang objektif dalam RKUHP ini. Ia curiga, keberadaan RKUHP bisa jadi jalur alternatif bagi pihak tertentu untuk melemahkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi.
"Itulah kenapa statement kami jelas bahwa delik korupsi harus berada di luar RKUHP dan tidak disahkan sebelum hal itu terjadi. Ada ketergesa-gesahan yang tak masuk akal yang ditunjukkan kepada DPR ataupun pemerintah dalam pembahasan RKUHP," kata dia.
Ia juga berharap pembahasan RKUHP bisa lebih terbuka, partisipatif dan akuntabel.