KOMPAS.com - Transportasi di Indonesia memiliki kisah panjang dan menarik. Pada 1948, transportasi udara, pesawat, mulai digunakan untuk mengangkut penumpang di Indonesia.
Saat itu, pesawat pertama yang digunakan adalah jenis DC-3. Pesawat ini dimiliki oleh Indonesian Airways, cikal bakal dari Garuda Indonesia saat ini.
Kisah pengadaan pesawat
Pada awal kemerdekaan, TNI AU berencana untuk membeli pesawat angkut.
Rencana pembelian ini sudah dibicarakan dengan Presiden Soekarno. Presiden menyetujuinya.
Saat itu, direncanakan akan ada 25 pesawat model Dakota. Pemerintah pun melakukan pencarian dana sumbangan ke Pulau Sumatera untuk merealisasikan rencana tersebut.
Baca juga: Kisah Bus Tingkat di Indonesia Dimulai dengan Leyland Titan pada 1968...
Pada 16 Juni 1948, Presiden Soekarno melakukan lawatannya ke Aceh. Kesempatan ini digunakan Soekarno untuk berorasi dan membangkitkan jiwa nasionalisme rakyat Aceh.
Rakyat aceh diminta untuk memberikan sumbangan (patungan). Dana sumbangan ini akan digunakan untuk membeli pesawat angkut pertama di Indonesia.
Baca: Bahagianya Nyak Sandang, Penyumbang Pembelian Pesawat Pertama RI, Saat Bertemu Presiden...
Dalam kesempatan itu, Nyak Sandang mengisahkan, ia dan orangtuanya menjual sepetak tanah di kampungnya yang ditanam 40 batang pohon kelapa dan menyerahkan 10 gram emas.
Hartanya waktu itu dihargai Rp 100 dan diserahkan kepada negara bersama sumbangan warga Aceh lainnya.
Setelah dana terkumpul, Indonesia dapat menghadirkan pesawat jenis Dakota DC-03.
Waktu itu, sumbangan yang terkumpul setara dengan 20 kilogram emas murni dan 120.000 dollar Singapura. Uang ini kemudian digunakan untuk membeli pesawat Dakota.
Pesawat Dakota DC-3 dinamakan Dakota RI-001 Seulawah. Arti "Seulawah" adalah gunung emas. Seulawah mempunyai panjang 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 meter.
Baca juga: Mengenal Robur, Bus yang Pernah Jadi Primadona di Ibu Kota pada Masanya...
Mesin pesawat ini terdiri dari dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kilogram sehingga mampu terbang dengan kecepatan maksimumnya, 346 km/jam.
Kehadiran pesawat Dakota mendorong dibuka jalur penerbangan Sumatera-Jawa, dan bahkan ke luar negeri.
Penerbangan ke berbagai daerah
Awalnya, pesawat Seulawah dioperasikan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Pada November 1948, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatera dengan rute Maguwo-Jambi-Payakumbuh-Kutaraja-Payakumbuh-Maguwo.
Ketika tiba di Kutaraja, pesawat tersebut digunakan joyflight oleh tokoh Aceh.
Pada awal Desember 1948, pesawat Dakota RI-001 melakukan perjalanan dari Lanud Maguwo ke Kutaraja.
Selanjutnya, 6 Desember 1948, bertolak menuju Kalkuta, India.
Pesawat diawaki Kapten Pilot J. Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin Caesselberry.
Perjalanan ke luar negeri dianggap penting untuk menjaga hubungan dengan negara-negara lain demi menunjang perjuangan Indonesia.
Apalagi, pada 1948, tepatnya 19 Desember 1948, sebagian besar pesawat AURI hancur karena serangan udara saat terjadi Agresi Militer II.
Saat itu, satu-satunya pesawat angkut yang masih utuh adalah Dakota Seulawah RI-001 yang tengah dalam perbaikan mesin di India.
Pada 26 Januari 1949, dilakukan penerbangan komersial pertama menggunakan pesawat DC-3 Dakota bernomor registrasi RI 001 berbendera Indonesia terjadi antara Kalkutta, India, ke Rangoon, Burma (sekarang Myanmar).
Penerbangan ini diawaki pilot dan awak pesawat Angkatan Udara RI.
Setelah melakukan perjalanan dari Rangon, dua hari selnjutnya dibentuk Indonesian Airways.
Keuntungan penerbangan komersil tersebut digunakan untuk biaya pendidikan kadet di India dan membantu perwakilan RI di Karachi dan Burma.
Dilansir dalam situs web Garuda Indonesia, pada tahun yang sama, tepatnya 28 Desember 1949, pesawat DC-3 lainnya terdaftar sebagai PK-DPD dan dicat dengan logo “Garuda Indonesian Airways”.
Psawat ini terbang dari Jakarta ke Yogyakarta untuk menjemput Presiden Soekarno.
Penerbangan ini merupakan penerbangan pertama ketika menggunakan nama Garuda Indonesian Airways.
Nama Garuda diambil Soekarno dari sajak berbahasa Belanda karya penyair Noto Soeroto.
”Ik ben Garuda, Vishnoe’s vogel, die zijn vleugels uitslaat hoog bovine uw einladen” (Saya Garuda, burung Vishnu yang melebarkan sayapnya tinggi di atas kepulauan Anda).
Pada 1950, Garuda Indonesia resmi menjadi perusahaan milik negara.
Selama periode itu, perusahaan mengoperasikan armada 38 pesawat yang terdiri dari 22 kapal terbang DC-3, 8 Catalina, dan 8 Convair 240.
Setelah itu, Garuda Indonesia bertranformasi dan mengembangkan rute penerbangannya ke beberapa negara di Eropa dan berbagai belahan dunia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.