Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pimpinan KPK Beberkan Modus Pemberian Izin Pengelolaan SDA Jelang Pilkada

Kompas.com - 01/06/2018, 14:50 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif membeberkan modus pemberian izin pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang tak terkontrol jelang kontestasi Pilkada 2018.

Dia mencontohkan, kasus seperti ini terjadi di sejumlah daerah di Kalimantan dan Sulawesi, dengan mencakup wilayah yang sangat luas. 

"Di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara lebih luas izin daripada luas wilayah. Di Sulawesi Utara juga lebih banyak luas izin ketimbang luas wilayah," kata Syarif, dalam sebuah diskusi di gedung penunjang KPK, Jakarta, Kamis (31/5/2018).

Baca juga: Tiga Pandangan Akademisi Ini Jadi Alasan KPK Tolak Pasal Korupsi dalam RKUHP

Syarif menduga, praktek pemberian izin yang tak terkontrol itu melibatkan politik transaksional antara pelaku bisnis dan pejabat daerah. Ia juga menduga, hal seperti itu dilakukan demi mencari pendanaan politik.

"Di mana logikanya kalau izin lebih luas daripada luas wilayahnya, kalau tidak dibayar pakai duit," kata Syarif.

Menurut dia, pendanaan politik dari perusahaan tambang ke calon kepala daerah tak hanya berupa uang. Dukungan biaya politik biasanya diubah menjadi dukungan jasa untuk menunjang aktivitas kampanye.

"Setiap mau pilkada, 'saya kasih izin, tolong kirimkan penyanyi dangdut, buat spanduk, biayai saksi-saksi saya', itu penelitian KPK dan LIPI," kata dia.

Cara semacam ini membuat KPK seringkali kesulitan dalam melacak potensi korupsi dalam pemberian izin jelang pemilihan. "Itu bukan tindak pidana korupsi, tapi pasti ada potensi korupsinya. Tapi, untuk membuktikannya sulit dan karena ini berhubungan dengan pilkada," kata dia.

Baca juga: Jika KUHP Atur Korupsi, KPK Khawatir Kewenangannya Terpangkas

Masalah izin tambang yang diberikan secara tidak terkontrol ini juga berpotensi membuat negara rugi. Menurut dia, ada kasus ketika masa izin pengelolaan sudah habis, masih ada perusahaan yang tak bertanggung jawab dengan laporan kinerja dan pembayaran dana jaminan, misalnya jaminan pascatambang.

"Kita harus stop, tidak usah diperpanjang lagi. Karena banyak, karena dia tidak bisa melaporkan apa yang dia kerjakan dia tidak bisa bayar pascareklamasi yang banyak sekali," kata dia.

Ia juga menyayangkan banyaknya potensi pendapatan negara dalam pengelolaan SDA yang belum dibayarkan perusahaan tambang kepada pemerintah.

"Misalnya piutang PNPB kontrak karya dan izin usaha pertambangan itu sekitar Rp 800 miliar lebih. Sedangkan outstanding kewajiban finansial eksplorasi migas belum dibayar itu ada 336 juta dollar Amerika Serikat," ungkap dia.

Baca juga: KPK Minta Pasal soal Korupsi Dihapus dari RKUHP

Melihat kenyataan itu, Syarif menekankan pentingnya masyarakat sipil untuk mewaspadai calon kepala daerah yang bermain-main dengan pemberian izin pengelolaan SDA.

Ia juga meminta masyarakat waspada dan jeli terhadap calon petahana yang diam-diam memiliki konsesi tambang.

"Para cakada (calon kepala daerah) ini biasanya mempunyai ikatan emosional yang kuat bahkan memiliki konsesi tambang sehingga perlu diwaspadai masyarakat," kata dia.

Jika salah pilih, kata Laode, akan berbahaya bagi nasib masyarakat dan memperparah potensi kerusakan lingkungan hidup di masa depan.

"Karena proses ketika di TPS, mencoblos itu mempengaruhi masa depan kita," papar Syarif.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

ICW Dorong Polda Metro Dalami Indikasi Firli Bahuri Minta Rp 50 M Ke SYL

ICW Dorong Polda Metro Dalami Indikasi Firli Bahuri Minta Rp 50 M Ke SYL

Nasional
Sertijab 4 Jabatan Strategis TNI: Marsda Khairil Lubis Resmi Jabat Pangkogabwilhan II

Sertijab 4 Jabatan Strategis TNI: Marsda Khairil Lubis Resmi Jabat Pangkogabwilhan II

Nasional
Hasto Beri Syarat Pertemuan Jokowi-Megawati, Relawan Joman: Sinisme Politik

Hasto Beri Syarat Pertemuan Jokowi-Megawati, Relawan Joman: Sinisme Politik

Nasional
Menerka Nasib 'Amicus Curiae' di Tangan Hakim MK

Menerka Nasib "Amicus Curiae" di Tangan Hakim MK

Nasional
Sudirman Said Akui Partai Koalisi Perubahan Tak Solid Lagi

Sudirman Said Akui Partai Koalisi Perubahan Tak Solid Lagi

Nasional
Puncak Perayaan HUT Ke-78 TNI AU Akan Digelar di Yogyakarta

Puncak Perayaan HUT Ke-78 TNI AU Akan Digelar di Yogyakarta

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Sudirman Said Berharap MK Penuhi Rasa Keadilan

Jelang Putusan Sengketa Pilpres, Sudirman Said Berharap MK Penuhi Rasa Keadilan

Nasional
Sejauh Mana 'Amicus Curiae' Berpengaruh pada Putusan? Ini Kata MK

Sejauh Mana "Amicus Curiae" Berpengaruh pada Putusan? Ini Kata MK

Nasional
Alasan Prabowo Larang Pendukungnya Aksi Damai di Depan MK

Alasan Prabowo Larang Pendukungnya Aksi Damai di Depan MK

Nasional
TKN Prabowo Sosialisasikan Pembatalan Aksi di MK, Klaim 75.000 Pendukung Sudah Konfirmasi Hadir

TKN Prabowo Sosialisasikan Pembatalan Aksi di MK, Klaim 75.000 Pendukung Sudah Konfirmasi Hadir

Nasional
Tak Berniat Percepat, MK Putus Sengketa Pilpres 22 April

Tak Berniat Percepat, MK Putus Sengketa Pilpres 22 April

Nasional
Prabowo Klaim Perolehan Suaranya yang Capai 58,6 Persen Buah dari Proses Demokrasi

Prabowo Klaim Perolehan Suaranya yang Capai 58,6 Persen Buah dari Proses Demokrasi

Nasional
Hakim MK Hanya Dalami 14 dari 33 'Amicus Curiae'

Hakim MK Hanya Dalami 14 dari 33 "Amicus Curiae"

Nasional
Dituduh Pakai Bansos dan Aparat untuk Menangi Pemilu, Prabowo: Sangat Kejam!

Dituduh Pakai Bansos dan Aparat untuk Menangi Pemilu, Prabowo: Sangat Kejam!

Nasional
Sebut Pemilih 02 Terganggu dengan Tuduhan Curang, Prabowo: Jangan Terprovokasi

Sebut Pemilih 02 Terganggu dengan Tuduhan Curang, Prabowo: Jangan Terprovokasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com