Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Gaji Megawati Lebih Tinggi dari Yudi Latif? Ini Penjelasan Menpan-RB

Kompas.com - 30/05/2018, 17:37 WIB
Ihsanuddin,
Sandro Gatra

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Asman Abnur mengungkapkan alasan gaji Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) lebih tinggi dibandingkan Yudi Latif yang menjabat sebagai Kepala BPIP.

Asman mengatakan, meski memiliki nomenklatur Dewan Pengarah, namun Megawati dan delapan tokoh senior lainnya tidak hanya bertugas memberikan arahan.

Namun, mereka juga ikut merencanakan dan mendesain kelembagaan BPIP bahkan sejak masih berbentuk unit kerja.

"Mulai dari perencanaan di situ. Desainnya dari situ. Perencanaan, pengawasan, sampai desain pembinaan, didesain oleh pengarah," kata Asman di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (30/5/2018).

"Jadi ini bukan sekedar mengawasi, tapi juga mendesain, bagaimana agar ideologi itu bisa masuk sesuai substansi yang kita harapkan, mulai anak-anak sampai dewasa," tambah dia.

Baca juga: Wapres Kalla Tak Ingin Besaran Gaji BPIP Terus Dipersoalkan

Selain itu, dalam penentuan gaji, menurut Asman, pemerintah juga mempertimbangkan kapasitas dan kompetensi dari yang bersangkutan.

Jajaran Dewan Pengarah memang diisi para tokoh senior, mulai dari Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, Ahmad Syafii Maarif, Said Aqil Siradj, Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya.

"Itu kan diisi tokoh tokoh nasional kita, mantan wapres, mantan presiden dan tokoh lainnya," ujar dia.

Gaji pimpinan BPIP diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 yang diteken Jokowi pada 23 Mei lalu.

Baca juga: Yudi Latif: Pegawai BPIP Kesulitan Cicil Rumah dan Bayar Sekolah Anak

Dengan Perpres itu, maka Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP mendapatkan hak keuangan Rp 112.548.000 per bulan.

Sementara itu, jajaran anggota dewan pengarah lainnya masing-masing mendapatkan Rp 100.811.000 per bulan.

Adapun Kepala BPIP yang dijabat Yudi Latif mendapatkan Rp 76.500.000. Selanjutnya, Wakil Kepala Rp 63.750.000, Deputi Rp 51.000.000 dan Staf Khusus Rp 36.500.000.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon sebelumnya mempertanyakan logika pemerintah dalam menetapkan besaran hak keuangan tersebut.

Baca juga: Jokowi: Gaji BPIP Bukan Hitung-hitungan dari Kita

Fadli heran mengapa gaji dan tunjangan Kepala BPIP Yudi Latif justru lebih kecil daripada jajaran Dewan Pengarah yang dipimpin Megawati.

Padahal, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018, Yudi bertugas memimpin dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan fungsi BPIP.

Sementara, jajaran Dewan Pengarah hanya bertugas memberikan arahan kepada pelaksana.

"Nah, struktur gaji di BPIP ini menurut saya aneh. Bagaimana bisa gaji ketua dewan pengarahnya lebih besar dari gaji kepala badannya sendiri? Dari mana modelnya?" kata Fadli dalam keterangan tertulisnya kepada Kompas.com, Senin (28/5/2018).

Menurut Fadli, di lembaga manapun, baik di pemerintahan maupun swasta, gaji direksi atau eksekutif pasti selalu lebih besar daripada gaji komisaris, meskipun komisaris adalah wakil pemegang saham. Sebab, beban kerja terbesar memang adanya di direksi atau eksekutif.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Nasional
Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Nasional
FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

Nasional
Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Nasional
Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Nasional
Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Nasional
Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com