JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz mengingatkan, benih-benih radikalisme bisa terjadi akibat konflik politik yang terus dipelihara.
Ia mencontohkan, Indonesia punya pengalaman pahit dalam Pilkada DKI Jakarta tahun lalu yang menimbulkan gesekan konflik yang cukup keras.
"Bagaimana kekuatan politik hitam memanfaatkan radikalisme agama sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, kita tak mau lagi yang terjadi di 2017 itu diulang lagi, direplikasi di 2018," kata dia saat ditemui usai penganugerahan Maarif Award 2018 di studio Metro TV, Jakarta, Minggu (27/5/2018) malam.
Baca juga: Peran Masyarakat Sipil dalam Kontra Radikalisme Harus Diperkuat
Darraz mengakui situasi itu mengkhawatirkan dan bisa terjadi lagi di tahun ini.
Upaya politisasi tempat ibadah, ayat-ayat suci harus dihindari hanya demi kepentingan kekuasaan sesaat.
Ia menilai bahwa politisasi keagamaan sangat rentan membuat masyarakat takut dan mengakibatkan konflik yang berkepanjangan.
"Mohon maaf, dulu ada larangan menyolatkan orang yang mendukung calon tertentu, itu bagaimana bahasa agama dipakai untuk kampanye negatif, orang kan jadi takut karena tidak akan disolatkan akhirnya tidak memilih. Nah hal semacam ini harus kita jaga, semua pihak harus berperan," kata dia.
Baca juga: Pemerintah Diharapkan Perkuat Program Kontra Radikalisme sebagai Gerakan Nasional
Ia berharap agar identitas SARA dan ajaran keagamaan harus steril dari unsur politis yang bisa memancing konflik.
Kontra radikalisme
Ia memandang masyarakat Indonesia masih rentan dan belum bisa memilah secara jelas nilai keagamaan yang benar dan yang disalahgunakan.
Situasi itu membuka celah peningkatan kejahatan terorisme, sehingga perlu bagi seluruh elemen masyarakat melakukan kontra radikalisme.
"Kondisi kebangsaan kita sangat rentan disusupi kelompok teroris. Kita harus perkuat jangan sampai rentan," kata Darraz.
Baca juga: JK Ungkap Sulitnya Dewan Masjid Indonesia Ikut Cegah Paham Radikalisme
Salah satu langkah konkret adalah melalui pendidikan di berbagai tingkatan. Darraz meyakini pendidikan menjadi kunci untuk mencegah radikalisme.
Misalnya, lembaga pendidikan harus membangun daya kritis generasi muda dalam mencerna informasi di dunia maya. Sebab, paham radikalisme juga disusupi lewat dunia siber.
Darraz juga mengimbau agar organisasi masyarakat sipil dan keagamaan moderat bisa berperan strategis dalam melawan narasi radikalisme dengan narasi tandingan.