JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Kontra Yati Andriyani menilai Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) TNI tidak mendesak dibentuk untuk melawan kejahatan terorisme.
Meski Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorismeme yang baru mengatur mengenai keterlibatan TNI, namun Yati menilai peran militer tak harus dengan membentuk Koopsusgab.
Yati mengatakan, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme harus tetap dalam konteks operasi militer selain perang (OPSM) sebagaimana diatur dalam UU TNI pasal 7 ayat (2) dan (3).
Peraturan Presiden (Perpres) yang dimaksud dalam pasal 43I UU Antiterorisme, kata dia, harus memperhatikan keterlibatan TNI sebagai pilihan terakhir dan dengan sejumlah prasyarat ketat. Misalkan apabila situasi dan kondisi mendesak di mana Polri sudah tidak mampu.
Baca juga: Siapa Jabat Komandan Koopsusgab TNI?
Selain itu, harus jelas dalam skala, situasi, derajat atau intensitas seperti apa TNI terlibat. TNI menurut Yati, tidak bisa terlibat dalam konteks penyelidikan, penyidikan atau proses pemidanaan.
Harus ada jaminan juga akan ketiadaan tumpang tindih kewenangan TNI-Polri. Terakhir, harus ada jaminan mekanisme pengawasan yang jelas dan akuntabel.
"Berdasarkan hal-hal tersebut maka sebaiknya pembentukan Kopsusgab tidak mendesak untuk dibentuk," kata Yati dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (26/5/2018).
Yati mengatakan, selama ini sudah terdapat praktik bagaimana TNI bisa terlibat dalam operasi pemberantasan terorisme. Misalnya dalam operasi Tinombala di Poso, TNI ikut serta membantu Polri untuk memburu kelompok Santoso.
Peran TNI itu bisa dilakukan tanpa harus secara khusus diatur dalam UU pemberantasan terorisme maupun pembentukan Kopsusgab.
Yati juga mengingatkan, penting untuk memastikan adanya pengawasan dan mekanisme akuntabilitas serta transparansi terhadap aparat dalam menggunakan kewenangan yang ada di dalam UU ini. Menurut dia, harus segera ada pembahasan terkait Rancangan Undang-Undang lainnya yang berkaitan.
Pertama, RUU tentang Tindak Pidana Penyiksaan untuk menjamin tidak terjadinya praktik penyiksaan dalam proses pemberantasan tindak pidana terorisme. Kedua, RUU penyadapan dan perlindungan data pribadi yang dapat menjadi payung hukum pasal penyadapan di UU Antiterorisme.
Ketiga, RUU Perbantuan Khusus yang dapat lebih menjelaskan fungsi perbantuan TNI. Keempat, RUU Peradilan Militer untuk evaluasi dan mencegah potensi penyalahgunaan wewenang atau kesewenang-wenangan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.
Selain itu, ia juga menilai harus ada jaminan pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban tindak pidana terorisme.
"Termasuk korban salah tangkap, penyiksaan, salah tembak dan atau tindakan lain yang merugikan korban dalam pemberantasan tindak pidana terorisme," kata dia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.