JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Pencegahan Terorisme BNPT RI Brigjen (Pol) Hamli mengatakan, penangkapan dan penahanan terduga maupun tersangka teroris dilakukan berdasarkan ketentuan aturan yang berlaku.
“Nanti penyidik itu yang tahu, temen-teman dari Densus (Detasemen Khusus 88) yang tahu itu. Dua alat bukti yang sah cukup keterangan saksi atau alat bukti lain yang ada di situ,” tutur Hamli di Hotel Cemara 2, Jakarta, Jumat (25/5/2018).
Baca juga: Ketua Pansus: UU Antiterorisme Perkuat Kelembagaan BNPT
Kendati demikian, kata Hamli, Densus 88 tidak akan menjadikan bukti penyadapan sebagai alat bukti utama dalam melakukan penindakan terorisme.
“Teman-teman Densus (Datasemen Khusus 88) menjadikan alat bukti sadap karena itu akan menjadikan petunjuk dari Densus biasanya. Tapi itu (hasil sadapan) tidak dijadikan alat bukti kecuali tidak ada lagi,” tutur dia.
Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) yang baru saja disahkan menjadi undang-undang mengatur ketentuan tentang pelaksanaan penangkapan terduga teroris dan penahanan tersangka.
Baca juga: Penyidik Kini Bisa Sadap Terduga Teroris Tanpa Izin Pengadilan
UU Antiterorisme disahkan pada rapat paripurna DPR di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (25/5/2018).
Dalam UU tersebut, penyidik kepolisian kini bisa melakukan penyadapan kepada terduga teroris tanpa izin dari ketua pengadilan negeri setempat.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 31A UU Antiterorisme yang bunyinya, dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penyadapan terlebih dahulu terhadap orang yang diduga kuat mempersiapkan, merencanakan, dan atau melaksanakan Tindak Pidana Terorisme.
Baca juga: Ini Hak-hak Korban Aksi Teroris yang Diatur UU Antiterorisme
Setelah penyadapan dilakukan, dalam waktu paling lama tiga hari baru lah penyidik wajib meminta penetapan kepada ketua pengadilan negeri setempat.
Pasal 31A ini merupakan pasal baru yang disisipkan antara pasal 31 dan pasal 32.
Tak hanya itu, dalam UU yang baru, penyidik juga punya waktu lebih lama untuk melakukan penyadapan.
Pasal 31 ayat (3), izin penyadapan dari ketua pengadilan negeri dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama 1 tahun.
Baca juga: 270 Hari, Masa Penahanan Tersangka Teroris hingga Dibawa ke Pengadilan
Sementara di UU yang lama, izin penyadapan paling lama berlaku 1 tahun dan tidak dapat diperpanjang.
Di pasal 31 ayat (4) juga ditegaskan, hasil penyadapan bersifat rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan penyidikan tindak pidana terorisme.
Sementara di pasal 31 ayat (5), penyadapan juga wajib dilaporkan kepada atasan penyidik dan dilaporkan ke kementerian komunikasi dan informatika.