JAKARTA, KOMPAS.com - Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) menambah ketentuan mengenai perlindungan korban aksi terorisme.
Dalam RUU yang baru disahkan menjadi undang-undang itu mengatur enam hak korban, yakni pemberian hak berupa bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban meninggal dunia, pemberian restitusi dan kompensasi.
Sebelumnya hanya dua hak korban yang diatur di UU yang lama, yaitu kompensasi dan restitusi.
Baca juga: UU Antiterorisme Atur Tersangka dan Terduga Teroris Harus Diperlakukan Manusiawi
"Pemberian hak korban yang semula hanya mengatur mengenai kompensasi dan restitusi saja kini lebih komprehensif," ujar Ketua Pansus RUU Antiterorisme Muhammad Syafi'i saat Rapat Paripurna ke 26 DPR Masa Sidang V Tahun Sidang 2017-2018 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (25/5/2018).
Seluruh ketentuan terkait hak korban tersebut diatur dalam empat pasal.
Hak bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban meninggal dunia diberikan sesaat setelah terjadinya tindak pidana terorisme.
Pemberian bantuan dilaksanakan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang pelindungan saksi dan korban serta dapat bekerja sama dengan instansi atau lembaga terkait.
Baca juga: Menkumham Berharap UU Antiterorisme Digunakan Secara Bertanggung Jawab
Sementara, hak atas restitusi dan kompensasi merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.
Selain itu, UU Antiterorisme mengatur pula pemberian hak bagi korban yang mengalami teror sebelum UU tersebut disahkan.
UU Antiterorisme disahkan pada rapat paripurna DPR di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (25/5/2018). Dorongan agar DPR segera mengesahkan UU ini menguat usai terjadinya teror bom di Surabaya dan Sidoarjo, dua pekan lalu.