Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RUU Antiterorisme yang Merespons Teror

Kompas.com - 24/05/2018, 13:33 WIB
Yoga Sukmana,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Antiterorisme) menjadi perhatian publik pasca-teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, dua pekan lalu. 

Dorongan agar RUU Antiterorisme yang sudah dua tahun dibahas cepat dituntaskan menguat. 

Belum rampungnya RUU Antiterorisme dinilai menjadi penyebab tak optimalnya pemberantasan terorisme.

Desakan agar RUU itu segara disahkan, salah satunya datang dari Presiden Joko Widodo.

Pada Senin (14/5/2018) Presiden bahkan "mengancam" akan mengeluarkan Perppu apabila RUU Antiterorisme itu tak kunjung rampung.

"Kalau nantinya di bulan Juni di akhir masa sidang ini belum segera diselesaikan, saya akan keluarkan Perppu," ujar Presiden Jokowi.

Baca juga: Jika pada Juni RUU Antiterorisme Belum Selesai, Jokowi Terbitkan Perppu

Pernyataan Kepala Negara itu direspons sejumlah pihak. Kementerian hingga partai politik bereaksi. Mereka sibuk menyusun strategi agar RUU Antiterorisme segera rampung.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto langsung mengumpulkan pimpinan parpol pendukung pemerintah.

Disepakatilah percepatan penyelesaian RUU Antiterorisme.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bahkan menilai membiarkan mandeknya RUU Antiterorisme sama saja dengan membiarkan lebih banyak rakyat mati di tangan teroris.

"Ini begini mau suruh mati-mati lagi orang? Undang-undang apapun untuk kebaikan rakyat ini, oke, harus disambut. Jangan ada kepentingan- kepentingan lain, mengorbankan rakyat. Enggak benar itu," kata Menhan.

Baca juga: Menhan: RUU Antiterorisme Bukan Mentok, tapi Dimentok-mentokin

Akibat berbagi desakan itu, DPR kembali pada pembahasan. Sebagian setuju agar RUU Antiterorisme segara dirampungkan, sebagian lagi justru meminta agar konten dari RUU dibahas lagi.

Misalnya soal pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Kalangan masyarakat sipil menilai pasal itu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang jika tak diatur secara ketat.

Selain itu ada juga pasal soal penebaran kebencian. Kalangan masyarakat sipil mengkhawatirkan pasal ini berpotensi membatasi kebebasan berekspresi jika tak diatur secara ketat.

Hal lain yang dikritik yakni penahanan terhadap terduga teroris yang bisa mencapai 200 hari. Terdiri dari penahanan paling lama 120 hari, 60 hari perpanjangan, dan 20 hari tambahan bila diajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

Di tengah berbagai desakan itu, DPR berjanji akan berupaya merampungkan RUU Antiterorisme sebelum Lebaran atau sebelum masa sidang DPR ditutup.

Baca juga: Komisi III: Revisi UU Antiterorisme Diupayakan Selesai Sebelum Lebaran

Di sisi lain, reaksi pemerintah terkait RUU Terorisme diinilai merupakan kepanikan. Menurut Mantan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar, hal itu tak perlu terjadi.

Desakan untuk mendorong RUU Antiterorisme rampung secepatnya pasca teror bom Surabaya justru mengaburkan evaluasi pasca aksi teror itu sendiri.

"Setelah bom di Surabaya Kapolri Pak Tito Karnavian mengakui bahwa memang negara sudah mendeteksi tetapi kemudian kenapa bisa ada bom? Dimana peran intelijen?," ujarnya di Kantor PP Muhammdiyah, Rabu (23/5/2018).

Dimata Haris, terjadinya peledakan bom di Surabaya bukti bahwa negara justru gagal mencegah tindakan terorisme itu terjadi.

Padahal negara punya intelijen yang diberikan kewenangan besar.

"Kalau tahu akan ada peristiwa itu lalu dibiarkan ya harus diperiksa. Dan kita punya mekanismenya coba lihat UU Intelijen ada itu komisi pengawas intelijen di Komisi 1 DPR," kata dia.

Dari kacamata hak asasi, teror bom di Surabaya jelas telah melanggar HAM. Namun aktivis HAM itu menyoroti ketidakmampuan negara mencegah hal itu terjadi.

Di sisi lain, pasca-kejadian itu, semua pihak justru fokus kepada RUU Antiterorisme. Sementara, tindak lanjut masalah ledakan bom di Surabaya justru menjadi kabur.

"Nah sekarang bagaimana pengawasannya? Apakah komisi I DPR, komisi pengawas intelejen, pernah mereka panggil intelejen (BIN) mengapa terjadi peristiwa di Surabaya?," kata dia.

Baca juga: Malam Ini, DPR dan Pemerintah Rapat Kerja Bahas RUU Antiterorisme

"Saya belum lihat DPR RI melakukannya langsung sampai hari ini. Kita malah sibuk dengan RUU Antiterorisme," sambung dia.

Soal percepatan RUU Antiterorisme, Haris menyakini hal itu memang perlu. Namun penyelesaian RUU Antiterorisme menurutnya harus tetap rasional, sementara yang terjadi saat ini adalah kepanikan akibat respons yang tak tepat atas teror bom Surabaya.

Menurut dia, ada hal yang sangat penting dari RUU Antiterorisme dari sekadar untuk dipaksa selesai dengan banyak catatan merah.

Hal itu, kata dia, yakni menjadikan RUU Antiterorisme sebagai UU yang memiliki kemampuan menjamin dalam rangka pemenuhan hak azasi, hak atas rasa aman, hak hidup yang terjaga, hingga kebebasan beragama.

"Saya lebih tertarik kepada negara gagal untuk mencegah tindakan terorisme di Surabaya. Evaluasi (teror bom Surabaya yang baik) akan membawa kita kepada kecerdasan untuk menggunakan UU yang baru nanti," kata dia.

Kompas TV Berikut Catatan KompasTV bersama Jurnalis KompasTV, Sofie Syarief. 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

TNI Tembak 2 Anggota OPM yang Serang Pos Prajurit di Paro Nduga, tapi Berhasil Melarikan Diri

Nasional
Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Sebut Jaksa TI Tak Punya Mercy, KPK: Foto di Rumah Tetangga

Nasional
Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Kasus Korupsi Timah, Kejagung Dalami Kepemilikan Jet Pribadi Harvey Moeis

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Prabowo Minta Pendukung Tak Gelar Aksi saat MK Bacakan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Demokrat Sampaikan Kriteria Kadernya yang Bakal Masuk Kabinet Mendatang

Nasional
Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited  Capai Rp 17,43 Miliar

Antam Fokus Eksplorasi 3 Komoditas, Pengeluaran Preliminary Unaudited Capai Rp 17,43 Miliar

Nasional
KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

KPK Akan Panggil Kembali Gus Muhdlor sebagai Tersangka Pekan Depan

Nasional
Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Gibran Dikabarkan Ada di Jakarta Hari Ini, TKN: Agenda Pribadi

Nasional
Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com