JAKARTA, KOMPAS.com - Revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Antiterorisme) menjadi perhatian publik pasca-teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, dua pekan lalu.
Dorongan agar RUU Antiterorisme yang sudah dua tahun dibahas cepat dituntaskan menguat.
Belum rampungnya RUU Antiterorisme dinilai menjadi penyebab tak optimalnya pemberantasan terorisme.
Desakan agar RUU itu segara disahkan, salah satunya datang dari Presiden Joko Widodo.
Pada Senin (14/5/2018) Presiden bahkan "mengancam" akan mengeluarkan Perppu apabila RUU Antiterorisme itu tak kunjung rampung.
"Kalau nantinya di bulan Juni di akhir masa sidang ini belum segera diselesaikan, saya akan keluarkan Perppu," ujar Presiden Jokowi.
Baca juga: Jika pada Juni RUU Antiterorisme Belum Selesai, Jokowi Terbitkan Perppu
Pernyataan Kepala Negara itu direspons sejumlah pihak. Kementerian hingga partai politik bereaksi. Mereka sibuk menyusun strategi agar RUU Antiterorisme segera rampung.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto langsung mengumpulkan pimpinan parpol pendukung pemerintah.
Disepakatilah percepatan penyelesaian RUU Antiterorisme.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bahkan menilai membiarkan mandeknya RUU Antiterorisme sama saja dengan membiarkan lebih banyak rakyat mati di tangan teroris.
"Ini begini mau suruh mati-mati lagi orang? Undang-undang apapun untuk kebaikan rakyat ini, oke, harus disambut. Jangan ada kepentingan- kepentingan lain, mengorbankan rakyat. Enggak benar itu," kata Menhan.
Baca juga: Menhan: RUU Antiterorisme Bukan Mentok, tapi Dimentok-mentokin
Akibat berbagi desakan itu, DPR kembali pada pembahasan. Sebagian setuju agar RUU Antiterorisme segara dirampungkan, sebagian lagi justru meminta agar konten dari RUU dibahas lagi.
Misalnya soal pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Kalangan masyarakat sipil menilai pasal itu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang jika tak diatur secara ketat.
Selain itu ada juga pasal soal penebaran kebencian. Kalangan masyarakat sipil mengkhawatirkan pasal ini berpotensi membatasi kebebasan berekspresi jika tak diatur secara ketat.
Hal lain yang dikritik yakni penahanan terhadap terduga teroris yang bisa mencapai 200 hari. Terdiri dari penahanan paling lama 120 hari, 60 hari perpanjangan, dan 20 hari tambahan bila diajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri.