JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Sustira Dirga menilai bahwa kebebasan berekspresi di Indonesia masih terasa suram dan dalam keadaan terancam walau reformasi telah berjalan selama 20 tahun.
ICJR menyatakan ini berdasarkan tingginya jumlah pelaporan hukum terkait kebebasan berekspresi di Indonesia pad era reformasi.
"Berdasarkan pantauan ICJR, pelaporan terkait kebebasan berekspresi masih mengancam," ucap Dirga dalam diskusi "Catatan 20 Tahun Reformasi: Kebebasan Berkumpul, Berekpresi, Berpendapat dan Hak Informasi Masih dalam Ancaman" di Kantor LBH Pers, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Dirga menjelaskan, laporan yang sering terjadi adalah dengan dalih kebebasan berekspresi itu melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.
"(Laporan) penghinaan naik dua kali lipat dibanding 2015. Setidaknya ada 49 kasus pada 2017 yang dilaporkan dengan Undang-Undang ITE," kata Dirga.
Baca juga: 16 Pasal RKUHP Ini Mengancam Kebebasan Pers dan Masyarakat...
Selain UU ITE, kata Dirga, undang-undang yang sering digunakan dan menjadi ancaman kebebasan berekspresi adalah KUHP.
Dirga bahkan menyatakan bahwa pasal-pasal penghinaan itu juga digunakan untuk membungkam kritik. Aturan penghinaan itu bahkan terkesan dipaksakan.
"Salah satunya kasus Heri Budiawan atau dikenal sebagai Budi Pego, aktivis lingkungan di daerah Banyuwangi yang diancam berdasarkan pasal mengenai penyebaran ajaran komunisme ataupun marxisme," ucap Dirga.
Sebelumnya, kata dia, ada juga kasus yang menjerat Adlun Fikri di daerah Ternate. Adlun merupakan orang yang mengunggah video mengenai dugaan suap oknum polisi lalu lintas dari pengendara.
Namun, Adlun kemudian diperiksa dengan tuduhan penyebaran ajaran komunisme atau marxisme karena kaos yang pernah dia pakai.
"Dia (Adlun Fikri) dilaporkan memakai baju tulisannya 'PKI, Pencinta Kopi Indonesia' dan akhirnya dia dilaporkan atas dasar penyebaran ajaran komunisme," tutur Dirga.
Baca juga: ICJR Minta Pengesahan RUU Antiterorisme Tak Cederai Kebebasan Sipil
Sejumlah pasal lain yang mengancam kebebasan berekspresi, ucap Dirga, adalah mengenai dugaan makar.
ICJR menyoroti penggunaan pasal makar yang digunakan kepada orang yang dianggap belum melakukan serangan. Sebab, definisi makar diambil dari aturan hukum Belanda yang mensyaratkan adanya serangan.
"Pada 2017 ICJR sempat mengajukan judicial review terkait pasal makar tersebut. Seharusnya pasal makar itu yang dari bahasa Belanda 'aanval' itu seharusnya diterjemahkan dengan adanya tindakan serangan," ujar Dirga.
Dirga menuturkan, berdasarkan studi ICJR pada 2016, ada 15 pasal makar yang diadili, namun secara dominan menyasar ekspresi politik.