JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta definisi terorisme dalam Rancangan Undang-Undang Antiterorisme tak terus dipersoalkan. Perdebatan itu membuat pengesahan RUU terorisme terus tertunda.
"Kalau saya tidak berkelahi didefinisi, tapi yang penting orang tahu kalau teroris itu mengganggu keamanan negara," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden RI, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Menurut Kalla, perbedaan definisi terorisme yang terus diperdebatkan berdampak pada tersanderanya pengesahan RUU tersebut.
Padahal, kata mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan ini, persoalan definisi tentang terorisme adalah masalah sederhana.
Baca juga: Menhan : Masak Kita Sudah Berkali-kali Dihajar, RUU Antiterorisme Masih Maju Mundur
"Saya kira perbedaannya itu sedikit, soal kata-kata saja," ujar Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia tersebut.
Ketua DPR Bambang Soesatyo menegaskan bahwa beberapa hal krusial yang memicu perdebatan dalam pembahasan RUU Antiterorisme telah mencapai titik temu.
Bambang meyakini RUU Antiterorisme akan disetujui dalam sidang paripurna DPR dan disahkan paling lambat pada akhir Mei ini.
"Saya yakin RUU Antiterorisme bisa disetujui di akhir bulan Mei," ujar Bambang di gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/5/2018).
Sebelumnya, anggota Pansus RUU Antiterorisme Arsul Sani mengakui adanya perbedaan pendapat antara DPR dan pemerintah terkait definisi terorisme.
Menurut Arsul, pemerintah menginginkan definisi terorisme sesuai Pasal 6 dan Pasal 7 draf RUU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut.
Baca juga: Ketua DPR Yakin RUU Antiterorisme Akan Disahkan pada Akhir Mei
Pasal tersebut menyatakan terorisme adalah segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan maksud menimbulkan suasana teror dan rasa takut menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau mengakibatkan kerusakan kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, publik atau fasilitas internasional.
Namun, sejumlah fraksi di DPR meminta agar dalam definisi tersebut ditambahkan frasa motif politik dan ideologi.
Baca juga: Pansus RUU Antiterorisme Ingin Definisi Terorisme Diperketat Agar Polri Tak Bertindak Subyektif
Arsul melanjutkan, Polri juga keberatan jika ada frasa motif ideologi serta politik dalam definisi terorisme dan dicantumkan dalam batang tubuh undang-undang.
Polri khawatir pasal tersebut nantinya akan dimanfaatkan pihak kuasa hukum terduga teroris. Mereka dapat berkilah kliennya tidak dapat dijerat dengan UU Antiterorisme karena tidak memiliki motif politik atau ideologi saat melakukan aksinya.