JAKARTA, KOMPAS.com — "Saya terus memantau kondisi dan mondar-mandir ke Cendana," ungkap Probosutedjo, adik presiden RI ke-2 Soeharto dalam buku Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto.
Tak banyak yang tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Cendana pada 20 Mei 1998 malam, sehari sebelum Soeharto menanggalkan kekuasaan yang ia genggam 32 tahun lamanya.
Namun, Probosutedjo yang punya akses keluar masuk Cendana menceritakan kondisi di kediaman Pak Harto 20 tahun silam tersebut.
Beberapa hari sebelum 20 Mei 1998, kawasan Cendana dan sekitarnya telah dilindungi oleh barikade pasukan penjaga. Tak sembarang orang bisa menembus masuk ke Cendana.
Baca juga: Cerita Wartawan "Kompas" Jelang Runtuhnya Kekuasaan Soeharto...
Namun, sebagai keluarga Cendana, Probosutedjo merupakan sedikit orang yang bisa melintas kawasan itu dengan mudah.
Beberapa hari jelang menyatakan mundur, Soeharto mengadakan berbagai pertemuan dengan akademisi dan tokoh politk di Cendana, termasuk pimpinan MPR saat itu, Harmoko.
Probosutedjo bahkan sempat menemui kakaknya itu dan berdialog mengenai situasi jelang reformasi.
"Mas, ini nampaknya kondisi sudah mengarah pada reformasi," kata dia.
Soeharto tetap tenang dan manggut-manggut.
"Boleh saja berpikir untuk reformasi. Tapi, jangan terpeleset menjadi revolusi," sahut Soeharto.
Baca juga: 21 Mei 1998, Saat Soeharto Dijatuhkan Gerakan Reformasi...
Dalam pengakuan Probosutedjo, ia bertanya kepada sang kakak apakah bersedia mundur?
Saat itu, ungkapnya, kakaknya itu mengatakan bahwa ia akan menurut mundur jika MPR menghendaki.
Di tengah kondisi yang kian tertekan, diungkapkan Probosutedjo, Soeharto tetap bisa tenang.
Ia tak heran sebab kakaknya itu cukup berpengalaman menghadapi gejolak politik yang diwarnai kekerasan.
Pada saat-saat sensitif itu pula, Probosutedjo melihat beberapa orang di Cendana berdialog.
Di antaranya cendikiawan islam Nurcholis Madjid dan Mensesneg Saadillah Mursyid.