JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Institute for Defense, Security, and Peace Studies Mufti Makarim menilai, penggunaan kekuatan militer dalam pemberantasan terorisme harus berdasarkan pada pertimbangan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Polri sebagai aparat penegak hukum.
Hal itu dia ungkapkan dalam merespons wacana pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) TNI oleh pemerintah.
Baca juga: BNPT Dukung Pengaktifan Kembali Koopsusgab TNI untuk Tumpas Teroris
Menurut Mufti, jika mengacu pada draf revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme), maka posisi Koopsusgab TNI seharusnya berada di bawah BNPT dan Polri.
"Koopsusgab TNI harus tetap ditempatkan di bawah BNPT dan Polri," ujar Mufti saat dihubungi, Kamis (17/5/2018).
Mufti menjelaskan, draf RUU Antiterorisme per 18 April 2018 menempatkan BNPT sebagai leading sector pemberantasan terorisme.
Di sisi lain, aspek penindakan terorisme dilakukan sesuai dengan kerangka criminal justice system atau sistem peradilan pidana. Dalam hal ini, Polri merupakan institusi yang berwenang melakukan penindakan.
Baca juga: BNPT DIsebut Bakal Jadi Leading Sector Pemberantasan Terorisme
Dengan demikian, kata Mufti, pelibatan TNI harus berdasarkan pada situasi dimana komponen negara lainnya benar-benar tidak mampu menanggulangi terorisme.
"Kalau konsekuensinya kita menerapkan BNPT sebagai leading sector lalu kemudian framework-nya criminal justice system, maka ini (pelibatan TNI) sangat bergantung pada pertimbangan BNPT dan kepolisian," kata Mufti.
"Jadi bukan kemana-mana bareng begitu. Ada polisi, ada Kopassus di situ. Itu buat saya sudah salah kaprah. Koopsusgab itu bukan soal jalan bareng, bagi-bagi kavling. Kita ingin menata semuanya jadi lebih baiklah," ucapnya.
Secara terpisah, anggota Pansus RUU Antiterorisme Arsul Sani mengungkapkan bahwa BNPT akan menjadi leading sector penanggulangan terorisme.
Baca juga: Kepala BNPT Tak Sepakat jika Program Deradikalisasi Dianggap Gagal
Menurut Arsul, setelah RUU Antiterorisme disahkan, maka BNPT bertugas antara lain menetapkan strategi kesiapsiagaan nasional dalam penanggulangan terorisme.
Arsul menjelaskan, strategi kesiapsiagaan nasional mencakup tiga aspek penanggulangan terorisme.
Selain aspek penindakan, ada pula dua aspek pencegahan, yakni kontra-radikalisasi dan deradikalisasi.
Kontra-radikalisasi dilakukan terhadap kelompok masyarakat yang belum terpapar dengan paham-paham radikalisme, namun punya potensi untuk terpapar.
Baca juga: Pansus: RUU Antiterorisme Perkuat Kewenangan dan Kelembagaan BNPT
Sedangkan, deradikalisasi ditujukan terhadap mereka yang sudah terpapar paham radikalisme.
"Dalam strategi ini maka selain penindakan, juga mencakup dua kerja pencegahan yakni kontra-radikalisasi dan deradikalisasi," tuturnya, Kamis.
Dalam draf RUU Antiterorime per 18 April 2018, kelembagaaan dan kewenangan BNPT diatur lebih tegas dalam bab VIIA.
BNPT menjadi pusat analisis dan pengendalian krisis yang berfungsi sebagai fasilitas bagi Presiden untuk menetapkan kebijakan dan langkah-langkah penanganan krisis, termasuk pengerahan sumber daya dalam menangani terorisme.
Baca juga: Mendagri Yakin Kapolri dan Kepala BNPT Mampu Tangani Terorisme
Lembaga tersebut berfungsi menyusun dan menetapkan kebijakan, strategi, program penanggulangan terorisme, kontra-radikalisasi dan deradikalisasi. Selain itu, BNPT juga bertugas mengoordinasikan program pemulihan korban.