JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Setara Institute Hendardi menyoroti Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) TNI untuk membantu Polri menghadapi terorisme.
Ia menilai, harus ada pembatasan waktu yang jelas kapan kerja Koopsusgab dimulai dan kapan berakhir, sebagaimana satuan-satuan tugas lain yang dibuat oleh negara.
Tanpa pembatasan, apalagi di luar kerangka sistem peradilan pidana, Koopsusgab hanya akan menjadi teror baru bagi warga negara.
"Dengan pola kerja operasi tentara, represi sebagaimana terjadi di masa lalu akan berulang. Cara ini juga rentan menjadi instrumen politik elektoral pada Pilpres 2019," kata Hendardi dalam keterangan tertulisnya, Kamis (17/5/2018).
Baca juga: Jokowi Setujui Pengaktifan Koopsusgab TNI, Ini Tugas-tugasnya...
Hendardi menambahkan, pembentukan Koopsusgab TNI oleh juga harus patuh pada ketentuan dalam Pasal 7 UU 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Dalam pasal itu jelas disebutkan bahwa pelibatan TNI bersifat sementara dan merupakan last resort atau upaya terakhir dengan skema perbantuan terhadap Polri yang beroperasi dalam kerangka integrated criminal justice system.
Bahkan, perbantuan militer juga hanya bisa dibenarkan jika situasi sudah di luar kapasitas Polri. Sementara Hendardi melihat Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah bekerja optimal meringkus jejaring terorisme dan menjalankan deradikalisasi.
"Jika membandingkan peristiwa yang terjadi dan peristiwa teror yang bisa dicegah, sesungguhnya Polri dan BNPT telah bekerja optimal," kata dia.
Baca juga: Disetujui Jokowi, Komando Operasi Khusus Gabungan TNI Aktif Kembali
Niat Presiden Jokowi mengaktifkan kembali Koopsusgab tersebut, menurut dia, memang sebagai bagian dari upaya memperkuat kemampuan negara dalam menangani terorisme. Tetapi, pemanfaatannya tetap harus dalam konteks tugas perbantuan terhadap Polri.
Sebab, pendekatan nonjudicial dalam menangani terorisme bukan hanya akan menimbulkan represi massal dan berkelanjutan, tetapi juga dipastikan gagal mengikis ideologi teror yang pola perkembangannya sangat berbeda dengan di masa lalu.
"Langkah Presiden Jokowi juga dapat dinilai sebagai tindakan melanggar UU," kata dia.
Hendardi mengingatkan Presiden Jokowi untuk dapat mendisiplinkan jajarannya yang mengambil langkah-langkah kontraproduktif dan bertentangan dengan semangat kepatuhan pada rule of law dan penghormatan pada hak asasi manusia.
Baca juga: Komando Operasi Gabungan Dinilai Tak Tepat untuk Berantas Teroris
Cara-cara represi, kata dia, justru akan menjauhkan warga dengan Jokowi yang akan berlaga kembali di Pilpres 2019.
Dibanding menghidupkan kembali Komando tersebut, Jokowi lebih baik turut aktif memastikan penyelesaian pembahasan revisi RUU Antiterorisme.
"Karena dalam RUU itulah jalan demokratis dan ramah HAM disediakan melalui kewenangan-kewenangan baru Polri yang diperluas, tetapi tetap dalam kerangka rule of law," ujarnya.
Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko memastikan, Presiden Joko Widodo menyetujui pengaktifan kembali Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) untuk membantu Polri melaksanakan tugas pemberantasan terorisme.