JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti LIPI sekaligus tim ahli DPR Poltak Partogi Nainggolan menilai wacana pembentukan Komando Operasi Khusus Gabungan dalam rangka penanggulangan terorisme, tidak tepat. Menurut Partogi, justru pemerintah seharusnya fokus dalam memperkuat data dan operasi intelijen.
"Komando operasi gabungan, itu terlalu salah kaprah. Enggak perlu, seolah ada ancaman negara. Yang perlu adalah data dan operasi intelijen. Itu yang harus kuat dan bagus," ujar Partogi seusai menjadi pembicara dalam sebuah diskusi terkait RUU Antiterorisme, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Partogi mengatakan, TNI bisa saja dilibatkan dalam pemberantasan terorisme, namun dengan situasi dan kondisi tertentu, yakni adanya pendudukan suatu wilayah oleh kelompok teroris. Ia mencontohkan keterlibatan TNI dalam operasi Tinombala dalam memberantas kelompok teroris pimpinan Santoso di Poso, Sulawesi Tengah.
Selain itu Partogi juga mencontohkan upaya militer Filipina dalam memberantas kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS di Marawi, Filipina Selatan.
"Kalau misalnya ada pendudukan seperti di Poso atau Marawi itu baru boleh TNI turun. Tapi kalau lonewolf atau masih dicurigai dia terkait jaringan teroris, maka cukup operasi intelijen," kata Partogi.
Baca juga: Pembahasan RUU Anti-Terorisme Tinggal Perdebatan Definisi Terorisme
Sebelumnya, pemerintah mempertimbangkan untuk membentuk kembali Komando Operasi Khusus Gabungan dalam rangka penanggulangan terorisme. Satuan teror tersebut akan diisi prajurit-prajurit terpilih dari satuan-satuan antiteror Kopassus TNI AD, Denjaka TNI AL, dan Satbravo TNI AU.
"Kemarin saya diskusi dengan Presiden (Joko Widodo) dan beliau sangat tertarik, sangat mungkin akan dihidupkan kembali," kata Kepala Staf Presiden Moeldoko ketika ditemui di Kantornya, Jakarta, Jumat (11/5/2018).
Meski TNI sudah memiliki Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC), namun pembentukan satuan tersebut dianggap tetap dibutuhkan.
"Pembentukan itu dalam situasi dan kondisi global saat ini sungguh diperlukan," kata mantan Panglima TNI tersebut.
Apalagi, menurut Moeldoko PPRC butuh waktu untuk bisa diterjunkan dengan cepat. Berbeda dengan Komando Operasi Khusus Gabungan yang khusus untuk menangani kondisi teror.
Baca juga: Komisi I Nilai Pasal Pelibatan TNI dalam RUU Anti-Terorisme Sudah Proporsional
"Begitu ada kejadian, kita proyeksikan prajurit ke sana dengan mudah bisa mengatasi. Pasukan itu disiapkan dalam tempo yang secepat-cepatnya, bisa digeser," kata dia.
Komando Operasi Khusus Gabungan tersebut pernah dibentuk oleh Moeldoko saat menjabat sebagai panglima TNI. Pasukan itu berjumlah 90 orang dari prajurit-prajurit terpilih dari satuan-satuan antiteror yang dimiliki oleh pasukan khusus di tiga matra TNI.
Satuan khusus tersebut dibentuk sebagai salah satu bentuk kesiapsiagaan TNI dalam menanggulangi ancaman teroris. Pasukan khusus antiteror bersifat stand by forces sehingga bisa digerakkan kapan saja.