Anak adalah korban terorisme
Lantas dalam perspektif hukum, apakah anak-anak itu dikategorikan sebagai pelaku teror?
"Sebutan bahwa anak-anak adalah pelaku teror perlu bersama-sama kita takar ulang ketepatannya," ujar Reza.
"Seberapa jauh anak-anak itu tahu? Seberapa jauh mereka setuju? Seberapa jauh mereka sukarela ikut dalam aksi teror? Itu beberapa pertanyaan yang penting kita sama-sama cermati sebelum mereka, anak-anak, dijuluki sebagai pelaku teror atau pelaku bom bunuh diri," lanjut dia.
Sebab, catatan di sejumlah negara justru menunjukkan bahwa dari sekian banyak peristiwa teror yang melibatkan anak-anak, ternyata mereka tidak tahu menahu kiprah orangtua mereka di dunia terorisme.
Baca juga: Aksi AKBP Roni Gendong Anak Pelaku Bom yang Terluka Setelah Ledakan
Jika demikian, pantaskah anak-anak terjerumus juga dalam 'lubang' yang dibuat orangtuanya?
Reza menegaskan, tidak.
"Bahkan, ketika anak-anak menjadi pelaku aktif kejahatan sekali pun, secara arif dan bijaksana, mereka juga sepatutnya dipandang dan disikapi sebagai korban. Kelakuan jahat anak tidak bisa lepas dari orang-orang di sekitarnya. Perilaku mereka adalah buah dari pengasuhan yang salah, pertemanan yang keliru dan pengaruh sosial negatif lainnya," papar Reza.
Apalagi, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, jelas memuat larangan kepada siapa pun mengajak atau melibatkan anak dalam tindakan kekerasan. Pelaku akan dikenakan pemberatan hukuman.
Baca juga: 6 Panduan Orangtua Membahas Terorisme kepada Anak
Mendasar pada aturan itu, maka fakta bahwa di tubuh seorang anak terlilit sabuk berisi bom dan meledak sehingga menewaskan orang banyak, mereka adalah pihak yang diajak atau dilibatkan oleh orang lain (orangtua) dalam tindakan kekerasan. Anak-anak justru adalah korban.
"Karena pihak yang mengajak anak-anak melakukan kekerasan adalah orangtuanya sendiri. Seandainya masih hidup, orangtua mereka pantas dikenai pemberatan di dalam hukumannya," ujar Reza.
Oleh sebab itu, Reza yang juga merupakan pakar psikologi forensik dari Universitas Indonesia itu meminta masyarakat menghindari stigmasisasi terhadap anak-anak dari keluarga teroris.
"Undang-Undang Perlindungan Anak memerintahkan kita untuk melindungi anak-anak tersebut dari stigmas terkait tindak tanduk orangtua mereka sendiri," ujar Reza.