JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengungkapkan bahwa pihaknya sepakat dengan upaya DPR dan pemerintah untuk mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Anti-terorisme).
Meski demikian Anam mengingatkan bahwa revisi RUU Anti-terorisme harus sesuai dengan sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang mengedepankan akuntabilitas dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
"Terdapat beberapa hal yang harus mendapatkan perhatian dalam proses revisi diantaranya penguatan paradigma criminal justice system dalam penanganan tindak pidana terorisme yang mengedepankan proses hukum yang akuntable dan menjunjung tinggi HAM," ujar Anam melalui keterangan tertulisnya, Senin (14/5/2018).
Selain itu, Anam juga menyoroti ketentuan mengenai penyadapan yang dianggap belum sepenuhnya jelas antara upaya penegakan hukum intelejen. Menurut Anam, jika penyadapan dimaknai dalam proses penegakan hukum, maka aturan soal jangka waktu selama satu tahun dan bisa diperpanjang lagi sangat tidak rasional.
Anam juga memandang ketentuan soal jangka waktu penyadapan itu bertentangan dengan asas hukum cepat, sederhana dan biaya ringan. "Sebaliknya, jika merupakan tindakan intelijen, maka perlu dikembalikan pada ketentuan UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara," tuturnya.
Baca juga: Komnas HAM Usul Tempat Penahanan Terduga Teroris Diatur dalam RUU Anti-Terorisme
Pasal lain yang juga harus menjadi perhatian adalah terkait penangkapan dan penahanan. Anam menegaskan bahwa penangkapan terduga terorisme harus memenuhi bukti permulaan yang cukup serta terdapa dua aspek yang harus dipenuhi, yakni lokasi penempatan dan jangka waktu.
Anam mengatakan pasal terkait jangka waktu penangkapan dalam RUU Antiterorisme saat ini sangat rawan pelanggaran HAM. Pasal tersebut menyatakan jangka waktu penangkapan terduga teroris untuk kepentingan penyelidikan mencapai 21 hari.
Di sisi lain, Anam juga mendorong agar diatur pula mengenai kewajiban kepolisian menetapkan atau memberitahukan lokasi penahanan saat menangkap dan memeriksa seorang terduga teroris.
"Hal itu untuk menghindari potensi pelanggaran HAM dan memastikan akuntabilitas dan pengawasan serta akses keluarga atau kuasa hukumnya," kata Anam.
Baca juga: Pembahasan RUU Anti-Terorisme Tinggal Perdebatan Definisi Terorisme
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mendesak agar DPR dan pemerintah segera menyelesaikan revisi UU Antiterorisme karena dinilai tidak cukup memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme.
Bahkan Presiden Jokowi mengancam akan menerbitkan Perppu jika pada masa persidangan Mei hingga Juni 2018 revisi belum selesai.