JAKARTA, KOMPAS.com - Pengeboman di tiga gereja di Surabaya pada Minggu (13/5/2018) memberikan fakta yang mengejutkan. Selain para pelaku merupakan satu keluarga, empat di antaranya adalah anak-anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengecam keras tindakan melibatkan anak dalam aksi terorisme semacam itu.
Ketua KPAI Susanto mengungkapkan, berkaca dari kasus ini, perlu diperhatikan pula potensi indoktrinasi terorisme kepada anak. Namun, dia mengakui, akan sulit dicegah apabila pelaku indoktrinasi kepada anak adalah orangtua sendiri.
"Jika pelaku indoktrinasi orangtuanya sendiri, tentu tidak mudah untuk mencegahnya," ujar Susanto ketika dihubungi Kompas.com, Senin (14/5/2018).
Baca juga: KPAI Kecam Pengeboman di Surabaya yang Melibatkan Anak
Susanto menyebut, risiko indoktrinasi radikalisme cenderung bisa dibatasi dan dicegah apabila pelaku adalah pihak lain yang bukan orangtuanya.
Menurut dia, sangat berbahaya apabila ideologi terorisme memasuki ruang-ruang keluarga.
"Karena lingkungan dan guru di sekolah sulit mengontrol pemahaman ideologi anak," tutur Susanto.
Ia mengungkapkan, bisa jadi saat di sekolah, anak mengikuti ideologi mainstream yang diajarkan di sekolah maupun lingkungan. Akan tetapi, kemudian di rumah bisa jadi anak mengikuti ideologi yang menjadi prinsip hidupnya atas indoktrinasi dari orangtua.
Baca juga: Hadiri Rakornas Desa, Jokowi Ajak Hadirin Berdoa untuk Korban Bom Surabaya
Sebagai informasi, terduga pelaku pengeboman di Surabaya adalah satu keluarga, dikepalai Dita Oepriarto (47). Terduga pelaku adalah warga Wisma Indah, Jalan Wonorejo Asri 11 Blok K/22, Surabaya.
Istri Dita yang ikut aksi bom bunuh diri adalah Puji Kuswanti (43). Ada pula keempat anaknya yang terlibat dalam pengeboman tersebut, yakni Yusuf Fadhil (18), Firman Halim (16), Fadhila Sari (12), dan Famela Rizqita (9).