JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan DPR tetap sepakat mengatur soal hukuman mati dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Hanya saja hukuman mati tak lagi masuk sebagai pidana pokok, melainkan pidana alternatif.
Meski demikian ketentuan tersebut tetap mendapatkan kritik dari kalangan masyarakat sipil dan akademisi hukum pidana.
Baca juga: Efek Jera Pidana Mati Dinilai Hanya Berupa Asumsi
Penerapan hukuman mati sebagai pidana alternatif dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai belum bersifat progresif.
Mengapa?
Pengajar hukum pidana Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Anugerah Rizki Akbari, menilai, penerapan hukuman mati sebagai pidana alternatif masih setengah hati dan tidak progresif karena ketentuan pidana mati masih diatur dalam RKUHP.
"Penerapan pidana mati ini setengah-setengah, karena dalam rumusan pasal, masih ada. Sebagai alternatif ini menjadi tidak progesif," ujar Rizki saat berbicara dalam diskusi "Membedah Konstruksi Pengaturan Buku I Rancangan KUHP" di Kampus STH Indonesia Jentera, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (7/5/2018).
Baca juga: Masih Setengah Hati, Penerapan Hukuman Mati sebagai Pidana Alternatif
Menurut Rizki, jika hukuman mati menjadi pidana alternatif, seharusnya ketentuan tersebut tidak lagi diatur dalam RKUHP.
Sementara, dalam pasal 73 draf RKUHP per 2 Februari 2018 menyatakan pidana mati diancamkan secara alternatif terhadap tindak pidana yang bersifat khusus.
Rizki mengatakan, sebagai hukuman alternatif sebaiknya pidana mati tidak perlu lagi dicantumkan dalam RKUHP.
Dengan begitu, aparat penegak hukum dapat memahami bahwa hukuman mati benar-benar menjadi upaya terakhir.
"Seharusnya kalau alternatif berarti dihapuskan sama sekali. Artinya harus benar-benar dihapuskan. Dengan begitu penegak hukum merujuk hukuman mati sebagai pidana alternatif dan benar-benar menjadi upaya terakhir," kata Rizki.
Baca juga: Akademisi: Penerapan Pidana Mati Meningkatkan Kekerasan di Masyarakat
Sementara itu akademisi Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, berpendapat bahwa penerapan hukuman mati dalam RKUHP akan meningkatkan tindak kekerasan di masyarakat.
Menurut Agustinus, dengan adanya ketentuan pidana mati, negara justru telah mengajarkan pada masyarakat bahwa orang yang melakukan kejahatan bisa diambil nyawanya.
Oleh sebab itu, ia tak sepakat jika pemerintah masih menerapkan hukuman mati meski dalam RKUHP dikategorikan sebagai pidana alternatif.