JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional sekaligus anggota tim perumus Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Enny Nurbaningsih, menuturkan bahwa ada perubahan terkait bentuk pemidanaan dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Dalam draf tersebut diatur bentuk pemidanaan berupa sanksi kerja sosial sebagai alternatif dari sanksi penjara dan denda.
"Pidana penjara bisa berubah menjadi pidana denda, bisa juga pidana tambahan atau kerja sosial. Semua ini terkait dengan tujuan pemidanaan," ujar Enny saat berbicara dalam Konsultasi Nasional bertajuk "Merancang Arah Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia" di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta Pusat, Rabu (2/5/2018).
Enny menjelaskan, penambahan sanksi kerja sosial sebagai hukuman alternatif bertujuan untuk mengurangi persoalan kelebihan kapasitas (over capacity) dalam lembaga pemasyarakatan.
Baca juga: Polemik RKUHP, dari Menjerat Ranah Privat sampai Mengancam Demokrasi
Ia mencontohkan Belanda yang menekankan pemidanaan pada sanksi denda. Dengan demikian, Belanda tidak mengalami masalah lapas yang melebihi kapasitas.
Pemberian atau penerapan sanksi kerja sosial, kata Enny, nantinya akan menjadi kewenangan hakim saat memutus sebuah perkara.
"Maka mudah-mudahan tidak ada masalah over kapasitas," tuturnya.
Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) per Juni 2017, jumlah narapidana di Indonesia sebanyak 153.312 orang. Adapun kapasitas yang dapat ditampung hanya 122.114 narapidana.
Baca juga: Setara Institute: Tak Ada Alasan Pemerintah-DPR Percepat Pengesahan RKUHP
Dengan demikian, secara keseluruhan lapas di Indonesia mengalami kelebihan penghuni mencapai 84 persen.
Angka yang lebih parah terjadi di Lapas Klas I Cipinang. Per Juni 2017, Lapas Cipinang diisi oleh 2.926 napi dan tahanan, padahal kapasitasnya hanya untuk 880 narapidana.