JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Antiterorisme) kembali diperpanjang.
Pengesahan RUU yang sedianya akan dilakukan pada Masa Sidang IV DPR Tahun Sidang 2017-2018 atau 5 Maret hingga 27 April 2018, akhirnya mundur.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Antiterorisme Muhammad Syafi'i mengungkapkan bahwa dalam pembahasan tersebut terjadi perbedaan pendapat antara DPR dan Pemerintah terkait definisi terorisme.
"Kemarin kan seharusnya masa sidang ini tapi sesuatu yang baru yang kita inginkan dalam UU ini kan ada definisi. Nanti akan dibahas di masa sidang depan," ujar Syafi'i saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/4/2018).
(Baca juga: Komnas HAM Usul Tempat Penahanan Terduga Teroris Diatur dalam RUU Anti-Terorisme)
Syafi'i mengatakan, dalam Pasal 1 angka 1 draf RUU Antiterorisme, DPR menginginkan definisi terorisme memasukkan unsur politik.
Artinya, seorang pelaku kejahatan bisa dikategorikan sebagai terorisme jika melakukan tindakan kejahatan yang merusak obyek vital strategis, menimbulkan ketakutan yang massif, untuk mencapai tujuan tertentu utamanya di bidang politik.
Selain itu, pelaku juga harus dibuktikan memiliki atau terlibat dalam suatu jaringan kelompok teroris.
Sementara, kata Syafi'i, pihak pemerintah memandang tak perlu ada unsur politik dalam definisi terorisme.
"Redaksional yang mereka (pemerintah) sajikan itu hanya untuk tindak pidana biasa, mereka yang melakukan kejahatan dengan maksud menimbulkam ketakutan yang massif, korban yang massal dan merusak obyek vital yang strategis. Ini kan tindak pidana biasa," kata Syafi'i.
(Baca juga: Pembahasan Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Diperpanjang)
"Harusnya dengan motif politik yang bisa mengganggu keamanan negara misalnya. Nah itu baru bisa disebut teroris. Mereka enggak sepakat dengan itu," ucapnya.
Syafi'i menuturkan pihaknya tak sepakat jika tak ada unsur politik dalam definisi terorisme.
Pasalnya, jika tak ada definisi yang ketat terkait terorisme, ia khawatir penegak hukum akan mudah untuk mengkategorikan tindak pidana biasa sebagai kejahatan terorisme.
"Saya melihat ada semacam keinginan perluasan untuk menetapkan siapa saja bisa dianggap teroris. Ada gerakan apa di balik ini semua, sehingga pemerintah ingin banyak orang bisa dituduh teroris," tuturnya.
Definisi Ketat
Secara terpisah, anggota Pansus RUU Antiterorisme dari Fraksi PPP Arsul Sani mengatakan, sebagian besar fraksi menginginkan ada definisi yang ketat terkait terorisme.
Suatu kejahatan bisa dikategorikan terorisme apabila pelaku memiliki motif politik, motif ideologi dan menimbulkan ancaman terhadap keamanan negara.
"Karena memang tidak bisa ditutupi, termasuk PPP, ingin agar tidak gampang sedikit-sedikit peristiwa, katakanlah bom, langsung diterapkan UU Terorisme," kata Arsul.
(Baca juga: Dianggap Negatif, Definisi Terorisme dalam RUU Anti-terorisme Masih Dirumuskan)
Menurut Arsul, unsur motif, ideologi dan mengancam keamanan negara harus ada dalam definisi sebagai unsur pembeda antara tindak pidana biasa dengan kejahatan terorisme.
Di sisi lain, keterlibatan pelaku dalam suatu jaringan kelompok terorisme juga penting dibuktikan oleh penegak hukum.
"Karena begitu dicap teroris, maka stigma itu akan terus menempel. Kecuali kalau perbuatannya itu karena dia anggota jaringan teroris, dia sudah ikut pelatihan dan lain-lain. Itu baru boleh dikenakan (UU Antiterorisme)," ujarnya.