JAKARTA,KOMPAS.com - Pengamat politik Para Syndicate Ari Nurcahyo menilai, putusan Majelis Hakim terhadap mantan Ketua DPR Setya Novanto sudah tepat karena dianggap mampu untuk memberi efek ngeri bagi para politisi untuk tak lagi berbuat korupsi.
Setya Novanto selain diganjar hukuman penjara dan denda juga mendapat hukuman pencabutan hak politik.
“Ya itu saya pikir suatu hal putusan hakim tepat ya, karena saat ini kita berhadapan dengan sistem politik demokrasi koruptif. Pencabutan hak politik sebagai hak politisi sangat signifikan berimbas para politisi menjadi takut untuk berbuat korupsi,” katanya, di kantor PARA Syndicate, Jakarta, Kamis (26/4/2018).
(Baca juga: Kasus E-KTP Diminta Tak Berhenti di Setya Novanto)
Ia berharap, pencabutan politik tetap berlangsung seterusnya dan menjadi sanksi sosial disamping sanksi hukum yang diterima.
“Ini tidak berhenti hanya di pak Setnov saja tetapi sebagaimana perilaku korupsi yang begitu masif sekarang ini di era demokrasi mampu diputus,” ucapnya.
Lantas Putusan Majelis Hakim, menurut Ari Nurcahyono, mampu memberi efek jera dan memutus mata rantai korupsi politik yang merajalela.
“Korupsi politik pak Setnov menjadi milestone yang baik untuk menata bagaimana agenda pemberantasan korusi ke depan lebih ditegaskan lagi,” tuturnya.
(Baca juga: Kader Golkar Diminta Belajar dari Vonis Novanto)
Putusan Setya Novanto, kata Ari Nurcahyono, menjadi hal fundamental yang mengkuatkan gerakan antikorupsi.
Diketahui, Novanto juga diwajibkan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Menurut majelis hakim, politisi Partai Golkar itu terbukti melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni pidana 16 tahun penjara dan membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
(Baca juga: Sekjen Golkar: Putusan Novanto Pukulan yang Sangat Keras)
Selain itu, majelis hakim mewajibkan Novanto membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik.
Jika menggunakan kurs rupiah tahun 2010, totalnya sekitar Rp 66 miliar.
Majelis hakim juga mencabut hak politik mantan Ketua DPR itu selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana. Hal itu sesuai tuntutan jaksa KPK.