JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim mempertimbangkan rekaman Johannes Marliem yang diputar jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjatuhkan putusan untuk terdakwa Setya Novanto.
Hal itu disampaikan hakim Emilia Djaja Subagja saat membacakan pertimbangan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (24/4/2018).
"Terdakwa bertemu dengan Johannes Marliem di kediamannya pagi hari," ujar hakim Emilia.
(Baca juga: Satu Anggota Majelis Hakim Sidang Novanto Diganti)
Dalam sidang pemeriksaan saksi, jaksa pernah memutar rekaman percakapan yang direkam langsung oleh Johannes Marliem.
Dia merupakan salah satu vendor penyedia produk biometrik merek L-1. Marliem mewakili perusahaan Biomorf Lone asal Amerika.
Menurut hakim, saat itu dibahas soal margin atau selisih harga pengadaan barang yang akan digunakan untuk anggota DPR. Saat itu, Novanto meminta diskon 50 persen.
Pada akhirnya, Marliem dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang hadir pada pertemuan itu menyepakati bahwa para pengusaha pelaksana e-KTP akan memberikan fee sebesar 5 persen dari nilai kontrak untuk fee anggota DPR.
"Disepakati selisih harga atau diskon untuk komitmen fee sebesar 5 persen," kata Emilia.
(Baca juga: Tak Ada Politisi, Novanto Didampingi Istri dan Keluarga Saat Sidang Putusan)
Selain itu, menurut hakim, dalam pertemuan itu Novanto mengutarakan bahwa yang menguasai lelang proyek e-KTP adalah Andi Narogong. Novanto khawatir rekayasa lelang tersebut akan tercium oleh KPK.
Menurut hakim, saat itu Novanto mengatakan bahwa ia membutuhkan dana Rp 20 miliar apabila sampai berurusan dengan penegak hukum.
Hingga berita ini ditulis, pembacaan putusan hakim masih berlangsung.
Novanto sebelumnya dituntut 16 tahun penjara dan membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Novanto juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 7,4 juta dollar Amerika Serikat terkait kasus korupsi proyek e-KTP.
Apabila menggunakan kurs dollar AS tahun 2010 senilai Rp 9.800, maka uang pengganti itu senilai sekitar Rp 72,5 miliar.
Jaksa KPK juga menuntut pidana tambahan agar hak politik Novanto dicabut setelah menjalani masa pidana.
"Pidana tambahan mencabut hak dalam jabatan publik 5 tahun setelah selesai pemidanaan," ujar Jaksa.
Dalam tuntutannya, jaksa menolak permohonan Novanto untuk memeroleh status sebagai justice collaborator.
Menurut jaksa, Novanto tidak memenuhi syarat sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.