JAKARTA, KOMPAS.com - Ia bukan Malahayati, perempuan heroik asal Aceh yang memimpin 2.000 orang pasukan menumpas kapal-kapal Belanda. Ia bahkan tak pernah memanggul senjata mengusir penjajah sekalipun.
Ia perempuan muda yang mencoba menunggang gelombang, tetapi terjebak dalam palung ketuaan zamannya. Tetapi surat-suratnya, guratan penanya, tersohor. Protes perempuan yang hidup dalam masyarakat aristokrat Jawa di akhir abad ke-19.
Ia memprotes ketimpangan masa kolonial, ia menggedor pintu tradisi yang tertutup. Semua lewat tulisan. Begitulah Raden Ajeng Kartini.
(Baca juga: Foto Susi dan Sri Mulyani Terpasang dalam Kartini Millenial on The Road di Solo)
Karena itulah, sastrawan Gunawan Muhammad menilai, Kartini jadi penting bukan karena heroismenya, melainkan karena keberanian perempuan muda yang mencoba melawan gelombang zamannya.
Api Kartini tak pernah padam dan menginspirasi jutaan perempuan Indonesia. Bahkan, semangat Kartini mengajar anak-anak di desanya ikut menginspirasi pemerintah untuk menekan buta huruf di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, sekitar 3,4 juta orang Indonesia masih terhitung sebagai buta huruf. Namun angka itu menurun dari angka buta huruf pada 2014 yang mencapai 5,9 juta.
Dari angka buta huruf tersebut, sebanyak 2.258.990 di antaranya adalah perempuan.
(Baca juga: Jumlah Kartini Indonesia di Posisi Manajemen Senior Perusahaan Tertinggi di Asia Pasifik)
Berbagai cara dilakukan untuk menekan angka buta huruf. Diantaranya menggalang relawan literasi dan membangun lebih dari 6.000 taman bacaan masyarakat (TBM).
Pemerintah juga menggulirkan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan menyetujui delapan butir literasi yang salah satunya adalah pengiriman buku secara gratis melalui Kantor Pos setiap 17 Agustus.
Diakui oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani, berbagai upaya menekan angka buta huruf terinspirasi kisah Kartini.
“Semangat Kartini selalu menginspirasi kami meluaskan akses pendidikan dan menekan angka buta huruf,” ujar Puan dalam keterangan tertulis.
(Baca juga: Kisah Syafitri, Kartini Asal Palembang Pengusung Sekolah ? Sampah?)
Pemerintah menyadari masih banyak pekerjaan rumah yang menumpuk. Namun semangat Kartini dalam mencerdaskan bangsa dan memperjuangkan emansipasi wanita harus terus dijaga.
Baginya, habis gelap terbitlah terang merupakan kalimat penuh makna dari Kartini yang harus menginspirasi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang bangsa mandiri, bangsa yang optimis dalam memandang masa depannya.