AGAK unik memang risiko berbicara mahar politik pilkada hari ini. Ternyata ujung-ujungnya, saat bicara tentang bagaimana agar biaya politik pilkada bisa semakin murah alias low cost, pelabuhannya adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD.
Terdengar terlalu pasrah, memang. Tapi apa daya, sudah banyak yang mencoba mengajukan ide ini sedari rezim sebelumnya. Menjadi sangat lucu jika kondisinya fait accompli demikian.
Maraknya mahar politik dan terbilang mahalnya pembiayaan untuk menuju posisi kepala daerah tentu tak serta-merta dijawab dengan mengembalikan amanat pemilihan kepala daerah kepada DPRD.
Bukankah itu justru akan menimbulkan kesan bahwa kita memang malas membenahi tata kelola pilkada? Perkara pembiayaan politik pilkada yang mahal tentu bisa disebabkan oleh banyak faktor.
Lantas, apakah faktor utamanya adalah karena kepala daerah tidak dipilih oleh DPRD sehingga kontestasi pilkada langsung menjadi mahal? Saya kira jawabannya tidak mutlak, "Ya".
Okelah, mari kita coba raba dan hitung kasar pos pengeluarannya. Sebut saja yang sering jadi pembicaraan adalah mahar untuk DPP partai.
Jelas hal tersebut bukan perkara pilkada, tapi perkara DPP dan kandidat. Jika tak ada supply dan demand atas mahar antara DPP partai dan bakal calon, maka cerita akan berbeda toh.
Lalu soal ongkos teknis, seperti biaya saksi dan biaya electability generating (kampanye dalam berbagai bentuk). Yang akan sedikit menyulitkan adalah soal biaya saksi.
Perkara ini harus didudukkan oleh semua stakeholder agar dapat solusi yang pas. Namun, saya kira, angkanya tak akan jauh berbeda dari angka yang harus dikeluarkan oleh bakal calon untuk mengakali 51 persen lebih suara di DPRD, jika kepala daerah ditentukan oleh DPRD.
Kemudian soal biaya elektabilias. Untuk pos satu ini, sebaiknya dipasarbebaskan secara terbatas.
Tak menutup kemungkinan pemerintah melahirkan aturan bahwa ada porsi pembiayaan minimal dari negara setelah si kandidat dinyatakan lolos. Setidaknya, pembiayaan minimal untuk ikut terlibatnya kandidat baik, populer, dan cocok untuk daerah dengan jumlah yang sama untuk setiap calon.
Ada pula porsi yang diperjuangkan oleh kandidat itu sendiri sebagai pertanda bahwa calon tersebut memang berjuang untuk menjadi kepala daerah.
Walaupun sebenarnya tokoh atau calon yang memang sudah bekerja, atau calon yang namanya sudah terungkit oleh bukti bakti, tentu akan menggelinding melebihi hasil kerja instrumen-instrumen kampanye berbayar. Apalagi jika terdapat sinergi yang sangat mesra antara calon dan mesin partai.
Tentu tetap ada pengeluaran untuk pos tersebut, tetapi bagi calon yang memang sudah disebut-sebut namanya oleh masyarakat daerah sudah barang tentu pula mereka sudah membuktikan sesuatu. Sehingga, biaya electability generating diperkirakan tak sebesar kandidat yang tak dikenal dan tak pernah berbuat apa-apa di daerah tersebut.
Maka dengan logika ini, diperkirakan akan lahir calon-calon yang memang menyadari dirinya populer dan berpeluang untuk dipilih karena ada nilai di dalam dirinya yang dianggap penting oleh masyarakat daerah.