JAKARTA, KOMPAS.com - Pertarungan Pilpres 2014 diprediksi akan kembali terulang pada Pilpres 2019. Joko Widodo, yang sudah mendapatkan dukungan sejumlah partai politik, kemungkinan besar akan berhadapan dengan lawan yang sama, Prabowo Subianto.
Setelah pelaksanaan Rakornas Gerindra, Rabu (11/4/2018), Prabowo menyatakan kesiapannya untuk maju sebagai capres.
Bagaimana langkah Jokowi setelah mengetahui calon lawan yang akan dihadapinya?
Baca juga : Fahri Hamzah Sarankan Prabowo Gandeng Anis Matta sebagai Cawapres
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya menilai, kini Presiden Jokowi tengah mengamati posisi lawan sebelum menentukan figur cawapresnya.
"Fenomena incumbent yang menarik itu lawan terberatnya adalah bukan nama-nama penantangnya tapi fenomena seberapa besar 'asal bukan Jokowi'," ujar Yunarto saat dihubungi, Kamis (12/4/2018).
"Jadi lawan Jokowi itu adalah 'asal bukan Jokowi'. Di sini saya pikir Jokowi juga akan berhitung lebih dulu seberapa besar dan bagaimana karakter dari masyarakat yang tergabung dalam 'Asal Bukan Jokowi'," lanjut dia.
Baca juga : Prabowo Siap Jadi Capres, Ini Kata Jokowi
Menurut Yunarto, Jokowi masih melihat isu yang berkembang di masyarakat sebelum memutuskan siapa yang akan mendampinginya di 2019.
Jika isu yang banyak menyerang didasarkan pada kebencian dan sentimen SARA, maka Jokowi akan mempertimbangkan figur cawapres dari kelompok agama.
Bukan tidak mungkin, kata Yunarto, Jokowi akan memilih sosok berlatar belakang militer atau mantan tentara yang dianggap dekat dengan kelompok agama.
"Itu bisa muncul sosok Moeldoko, di situ bisa muncul juga sosok cak imin (Muhaimin Iskandar)," kata Yunarto.
Namun, jika isu yang muncul didasarkan pada ketidaksukaan atas kebijakan dan situasi ekonomi, Yunarto memprediksi Jokowi akan memilih sosok teknokrat dari kalangan partai politik.
Baca juga : Soal Video Prabowo Diarak, Sandiaga Bilang Jangan Gagal Fokus
Sosok teknokrat tersebut memiliki kemampuan membangun secara ekonomi.
"Di situ bisa muncul sosok Airlangga (Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto)," tuturnya.
"Jadi bukan berkisar pada angka lagi atau elektabilitas, tapi faktor kualitatif yang coba ditutupi dengan membaca langkah lawan lebih dulu," ujar Yunarto.