Ia mengakui, penyerahan uang kepada partai adalah sesuatu realitas yang tak bisa dibantah di dalam pencalonan kepala daerah.
Padahal, ketentuan memberikan uang kepada partai politik atau partai politik menerima uang terkait proses pencalonan kepala daerah ini sudah diancam sanksi di dalam UU Pilkada.
"Lalu, ketika biaya politik tinggi itu disebabkan oleh partai politik, dan perilaku oknum kepala daerah sendiri, mengapa daulat rakyat untuk menentukan pemimpin daerahnya yang mesti direnggut?" katanya.
Perludem melihat, pemahaman elite politik atas wacana ini cenderung tidak tepat. Ia khawatir wacana ini bisa berdampak buruk dan menghasilkan kekeliruan.
(Baca juga: PKS Sepakat untuk Setujui Pilkada Dikembalikan ke DPRD)
Titi menyarankan agar DPR dan Pemerintah lebih produktif jika melakukan perbaikan terhadap sistem pemilihan kepala daerah.
"Mereka harus melihat berdasarkan pendekatan evaluatif yang konstruktif dari pengalaman tiga kali pilkada transisi ini Pilkada 2015, Pilkada 2017 dan Pilkada 2018," katanya.
Diskursus Harus Diperluas
Direktur Eksekutif Respublica Political Institute sekaligus akademisi Hukum Tata Negara, Benny Sabdo, berpandangan bahwa pemerintah dan DPR segera membuat proposal perubahan UU Pilkada agar diskursus publik tidak hanya terjebak pada tingginya biaya politik pilkada dan korupsi.
"Diskursus publik jangan hanya direduksi dengan wacana pilkada berbiaya mahal sehingga mendorong motivasi korupsi bagi kepala daerah," ujar Benny saat dihubungi, Kamis (12/4/2018).
Menurut Benny, melalui perubahan sistem tak menutup kemungkinan dapat memperbaiki fenomena tumpang tindih kebijakan saat ini.
(Baca juga: Bantah Ketua DPR, KPK Tak Pernah Ungkapkan Dukung Pilkada Lewat DPRD)
Kebijakan pemerintah pusat, kata Benny, kerap kali tidak sinkron dengan pemerintah daerah. Sebab, Pemerintah Daerah merasa memiliki legitimasi yang tinggi dalam merumuskan kebijakan daerah karena dipilih langsung oleh masyarakat.
Di sisi lain, Benny mengatakan bahwa pilkada sebenarnya tidak termasuk dalam rezim pemilu. Oleh sebab itu, kata Benny, pilihan politik hukum pilkada langsung maupun tidak langsung mutlak diserahkan kepada pembuat undang-undang karena bersifat open legal policy.
Jika merujuk pasal 18 ayat (4) UUD 1945, dinyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
"Ketentuan konstitusi hanya menyebut dipilih secara demokratis, jadi tidak harus pilkada langsung, dapat juga sebaliknya," ungkapnya.
(Baca juga: Menurut Ketua DPR, KPK Setuju Pilkada Langsung Dievaluasi)
Ia pun mengusulkan agar pihak eksekutif dan legislatif segera mengundang civil society, akademisi, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu untuk membahas wacana perubahan Undang-Undang Pilkada ini.
"Diskursus publik harus diperkaya. Namanya demokrasi memang berbiaya mahal. Juga tidak ada jaminan jika pilkada melalui DPRD tidak ada politik uang, bisa jadi justru lebih mahal biayanya. Jadi proyek baru bagi partai politik," kata Benny.
Terkait pembahasan wacara perubahan sistem pilkada, Benny menegaskan, pembuat undang-undang harus tetap mengacu pada visi memperkuat sistem presidensial dalam kerangka NKRI.
"Jadi, eksekutif dan legislatif sebagai pihak pembuat undang-undang harus berpikir visioner, tidak hanya berpikir jangka pendek pragmatis," tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.