Amali menilai, sejumlah masalah yang dihadapi dengan adanya pilkada langsung, seperti tingginya biaya politik dan korupsi tak bisa diselesaikan melalui perubahan sistem Pilkada.
Seharusnya, kata Amali, partai politik yang memiliki kewajiban untuk membenahi proses mekanisme perekrutan calon kepala daerah, agar menghasilkan pemimpin yang tidak bermasalah dengan hukum.
Amali mengatakan, perubahan sistem pilkada belum tentu menjadi solusi dalam menuntaskan berbagai persoalan yang dihadapi dalam pilkada secara langsung.
"Memang siapa yang bisa menjamin kalau di DPRD enggak ada money politic? Dengan sistem apapun money politic akan tetap ada. Tidak ada yang menjamin kalau di DPRD tidak ada money politic," kata dia.
(Baca juga: Pilkada Lewat DPRD Dinilai Tak Atasi Politik Uang, Ini Saran Perludem)
Bahkan ia menyebut pelaksanaan pilkada langsung memiliki dampak positif terhadap proses demokrasi.
Amali pun mencontohkan figur-figur seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Bupati Banyuwangi Azwar Anas, Bupati Bantaeng Nurdin Abdullah dan Presiden Joko Widodo.
"Jangan lupa, beliau (Jokowi) hasil dari pilkada langsung. Ada orang bilang hasil yang sekarang tidak menghasilkan yang baik. Lho, salah satu contohnya Pak Jokowi, masih banyak lagi hasil pilkada langsung yang menghasilkan pemimpin yang baik," ucapnya.
"Saya meyakini bahwa pelaksanaan pilkada langsung buat demokrasi kita itu lebih baik ketimbang kita kembalikan lagi ke DPRD," ujar politisi Partai Golkar itu.
Kekeliruan
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menegaskan, perdebatan terkait mekanisme pemilihan kepala daerah langsung atau melalui DPRD adalah diskursus yang sudah tuntas pada 2014.
(Baca juga: Wacana Sistem Pilkada Lewat DPRD yang Kontraproduktif)
Pada saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden menghentikan perdebatan itu dengan mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2014.
"Jika wacana mekanisme pemilihan kepala daerah (lewat DPRD) kembali diperdebatkan, ini adalah langkah mundur," kata Titi dalam keterangan resminya kepada Kompas.com, Selasa (11/4/2018).
Ia menganggap, mencuatnya wacana itu justru semakin memperkeruh pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Titi menegaskan, agar DPR dan pemerintah melakukan evaluasi terhadap persoalan yang muncul di dalam sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung.
Dengan demikian, DPR dan Pemerintah bisa melakukan perbaikan terhadap beberapa kelemahan tersebut.
Terkait dengan alasan biaya politik yang tinggi di dalam pemilihan kepala daerah, Titi menganggap, alasan tersebut perlu dilihat secara serius, apakah persoalan ini berasal dari sistem pemilihan kepala daerah langsung.
(Baca juga: Zulkifli Hasan Setuju Pilkada Dikembalikan ke DPRD)
"Dari fakta yang terjadi, biaya politik yang tinggi, justru dikeluarkan oleh calon kepala daerah untuk hal-hal sudah dilarang di dalam UU Pilkada," kata dia.
Titi menyoroti biaya untuk membayar uang pencalonan atau mahar politik kepada partai untuk proses pencalonan.