JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya memprediksi posisi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto akan sulit dalam menghadapi Presiden Joko Widodo pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019.
Pasalnya, Prabowo tercatat sudah dua kali mencalonkan diri, yaitu di Pilpres 2009 sebagai cawapres Megawati dan di Pilpres 2014 sebagai capres. Namun, Prabowo gagal.
"Kalau kita menggunakan pendekatan kualitatif atau pendekatan brand, sebuah produk yang pernah di-launching dua kali dan gagal berturut-turut biasanya sulit untuk di-launching ketiga kalinya dan berhasil. Itu Pak Prabowo menurut saya," ujar Yunarto saat dihubungi, Kamis (12/4/2018).
Belakangan mereka disebut-sebut sebagai calon kuat pendamping Prabowo.
Baca juga : 3 Faktor Ini Buat Prabowo Belum Pasti Maju Pilpres 2019
Yunarto mengatakan, meski elektabilitas Gatot dan Anies saat ini masih rendah, namun ia menilai keduanya memiliki efek kejut yang tidak dimiliki oleh Prabowo.
Ia mencontohkan bagaimana Anies mampu mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
"Saya meyakini peluang Gatot dan Anies masih ada. Walaupun elektabilitasnya rendah ketika disurvei tapi dia bisa punya efek kejut, daya kejut yang tidak dimiliki oleh Prabowo. Jadi menurut saya faktor fresh itu sudah hilang dari Prabowo dengan kegagalan dua kali yang dialami dari dua pemilu," kata Yunarto.
"Itu menurut saya menarik untuk dikaji dalam konteks ingin memenangkan pertarungan dengan Jokowi yang tidak mudah," ucapnya.
Sementara jika dilihat dari sisi logistik, kata Yunarto, Gatot kemungkinan besar lebih siap daripada Anies.
Baca juga : Saat Prabowo Putuskan Kembali Jadi Capres...
Ia merujuk pada pernyataan mantan Kepala Staf Kostrad (Kas Kostrad) ABRI Kivlan Zen yang menyebut Gatot memiliki uang lebih banyak dibandingkan Prabowo.
Yunarto mengatakan faktor kesiapan logistik sangat menentukan menentukan seseorang ketika maju dalam pemilu.
"Celetukan Kivlan Zein menurut saya menyiratkan sesuatu bahwa Gatot jangan-jangan lebih siap secara logistik," tuturnya.
Keputusan untuk memajukan calon lain selain Prabowo tentu juga memiliki dampak negatif, terutama bagi Partai Gerindra.
Yunarto memastikan keputusan itu akan sangat berpengaruh pada elektabilitas Gerindra.
Namun, hal itu bisa diantisipasi jika Prabowo berhasil meyakinkan konstituennya bahwa Gatot dan Anies atau figur lain yang diusung merupakan bagian dari Partai Gerindra.
"Kecuali dia (Prabowo) bisa membalik posisi politik Gatot atau Anies di Gerindra dan dalam waktu cepat bisa dianggap sebagai kembang baru Gerindra dengan menempatkan Prabowo sebagai seorang king maker saja. Kalau itu bisa dilakukan dengan baik bukan tidak mungkin terjadi win win solution," kata Yunarto.
Prabowo terima mandat
Sebelumnya, Prabowo Subianto menyatakan kesiapannya saat diberi mandat oleh partainya untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
Mandat tersebut diberikan Gerindra kepada Prabowo dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Gerindra yang berlangsung di rumahnya di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Rabu (11/4/2018).
"Prabowo Subianto menegaskan menerima mandat tersebut dan akan segera bergerak membangun koalisi pilpres. Prabowo memerintahkan seluruh kader turun bersama rakyat. Siang dan malam berjuang dengan rakyat," kata Sekjen Gerindra Ahmad Muzani melalui keterangan tertulis, Rabu (11/4/2018).
Baca juga : Syarat PKS Usung Prabowo di Pilpres 2019, Cawapres Harus Kadernya
Muzani menyatakan sebanyak 34 ketua dewan pimpinan daerah (DPD) tingkat provinsi Partai Gerindra dan 529 ketua dewan pimpinan cabang (DPC) tingkat kabupaten menginginkan Prabowo maju sebagai capres.
Selain itu, dukungan juga datang dari 2.785 anggota DPRD kabupaten/kota dan 251 anggota DPRD tingkat provinsi, serta 73 anggota DPR asal Gerindra.
Sementara itu, dalam pidato pembukaan Rakornas, Prabowo menyatakan kesiapannya untuk maju sebagai capres jika diberi mandat partainya.
Ia menyatakan dirinya pemegang mandat seluruh kader Gerindra di Indonesia.